Korupsi di Lingkaran Kekuasaan Penyakit Bawaan Sistem Sekuler

0
712

Hj. Padliyati Siregar ST

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) gagal menggeledah ruangan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristianto di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta lantaran penyidik diduga dihalangi petugas markas partai banteng.

Demikian yang disampaikan Ketua Divisi hukum Persaudaraan Alumni (PA) 212 nonaktif sekaligus Ketua Aliansi Anak Bangsa (AAB), Damai Hari Lubis.

Ia menjelaskan, tindakan tersebut bisa dikategorikan menghalang-halangi hukum atau obstruction of justice dalam penyidikan KPK dan dapat dijerat Pasal 21 UU Tipikor 31/1999 Juncto UU 20/2001.

Pasal tersebut dapat menjadi asas legalitas untuk pelaksanaan equlity before the low atau persamaan di hadapan hukumt berdasarkan UUD 1945 Pasal 1 ayat 3.
Dengan asas legalitas yang ada, KPK juga bisa meminta kepada Kapolri untuk membantu sekaligus memproses dan menangkap oknum polisi yang diduga turut menghalangi penangkapan Hasto.

Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 231).

Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 1).

Transparency International Indonesia merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2018 berada di peringkat ke-89 dari 180 negara dengan nilai 38 poin. Padahal seharusnya IPK indonesia diatas 50 poin (okezone, 17/8/2019).

Peliknya pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan persoalan ini bersifat sistemis, bukan oknum. Korupsi dilakukan bersama-sama, melibatkan tiga pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Kasus suap oleh Wali Kota Malang Moch Anton pada 41 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang menjadi bukti bahwa eksekutif dan legislatif kongkalikong melakukan korupsi.

Sementara yudikatif yang diharapkan bisa memberi sanksi menjerakan justru menjadi pelaku rasuah. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengindikasikan bahwa pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif sedang dalam kondisi darurat korupsi. Ketika tiga pilar demokrasi semuanya menjadi subjek korupsi, bisa dipastikan bahwa demokrasi adalah sistem yang korup.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berasaskan sekularisme, yakni pemisahan agama dari politik. Akibatnya, politik dijalankan mengikuti doktrin Niccolo Machiavelli dalam bukunya The Prince (1932).

Menurut Machiavelli semua tujuan dapat diusahakan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir yang dapat dibenarkan. Jadilah politik dijalankan tanpa mengindahkan benar dan salah. Korupsi dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan, meski secara teori demokrasi tidak menyetujui korupsi.

Kiranya wajar jika hingga hari ini Indonesia masih menjadi bagian grup papan tengah negara-negara terkorup di dunia. Karena faktanya, di negeri muslim terbesar ini korupsi memang nyaris menjadi budaya. Bahkan saat ini, nampak ada upaya menggeser nilai perbuatan koruptif menjadi sebuah kewajaran. Atau setidaknya agar pelaku korupsi boleh mendapat permakluman.

Cara Islam Memberantas Korupsi

Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa.

Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”. Oleh karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.

Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.

Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).

Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).

Nabi sebagaimana tersebut dari hadis riwayat Bukhari mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah.

Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi.

Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi.

Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal.

Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal, atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.

Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah.

Dengan takwa pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Di sinilah diperlukan keteladanan dari para pemimpin itu. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini.

Kelima, hukuman setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.

Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat gamblang mengenai pemberantasan korupsi dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Semoga cara ini bisa menjadi masukan dalam meminimalisir tindak korupsi di Indonesia. *** Wallahualam bishowab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here