Laut China Selatan, Ideologi Islam di antara Amerika dan China

0
228

Oleh : Riyulianasari

Duta Besar China dan Perwakilan Tinggi Australia untuk India terlibat perdebatan sengit di Twitter tentang sengketa Laut China Selatan.
Perang Twitter itu bermula ketika Australia membela Amerika Serikat (AS) yang baru-baru ini menolak klaim sepihak China atas 90 persen wilayah Laut China Selatan.

Melalui surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pekan lalu, Australia menganggap klaim China atas perairan itu tak memiliki basis hukum.

Sementara itu, Perwakilan Tinggi Australia di India Barry O’Farrell mengatakan negaranya ‘sangat prihatin’ terkait perilaku Beijing yang agresif di Laut China Selatan.

Pernyataan itu diutarakan O’Farrell kepada Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar saat bertemu pada pekan ini.

O’Farrell menganggap perilaku China di perairan tersebut bisa merusak stabilitas dan memicu eskalasi ketegangan di kawasan.

Tidak terima dengan pernyataan O’Farrell, Duta Besar China di India Sun Weidong menggungah kicauan di Twitter menyebut pernyataan O’Farrell menyesatkan dan tidak sesuai fakta.

Pernyataan Perwakilan Tinggi Australia kepada India soal Laut China Selatan mengabaikan fakta. Kedaulatan teritorial China dan hak maritimnya sesuai dengan hukum internasional termasuk Konvensi Hukum Kelautan PBB (UNCLOS). Jelas di sini siapa yang menjaga perdamaian dan stabilitas dan siapa yang coba menggoyahkan serta memprovokasi eskalasi di kawasan,” kata Sun melalui akun Twitternya.

Tak tinggal diam, O’Farrell pun membalas kicauan Sun. “Terima kasih @China_Amb_India, saya harap Anda menghargai putusan Arbitrase Laut China Selatan pada 2016 yang bersifat final dan mengikat secara hukum internasional, dan juga berupaya menahan diri dari tindakan yang secara sepihak mengubah status quo,” papar O’Farrell.

Kicauan O’Farrell merujuk pada putusan Arbitrase Internasional pada 2016 soal gugatan Filipina terhadap China atas klaim di Laut China Selatan.

Pengadilan Arbitrase Internasional mendukung Filipina dengan menganggap klaim historis China terhadap Laut China Selatan sebagai tidak sah.

Laut China Selatan menjadi perairan rawan konflik setelah Beijing mengklaim 90 persen wilayah di perairan itu yang bersinggungan dengan teritorial dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara lain, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, bahkan Taiwan.

Laut Tiongkok Selatan atau Laut China Selatan adalah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3500000 kilometer persegi (1400000 sq mi). Laut ini memiliki potensi strategis yang besar karena sepertiga kapal di dunia melintasinya. Laut ini juga memiliki kekayaan makhluk hidup yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar.

Sikap Malaysia dalam persoalan LCS yaitu Mahathir mengungkapkan, memang terdapat kapal-kapal China yang tanpa izin mengecek perairan Malaysia di wilayah Laut China Selatan untuk gas dan minyak. “Kami menyaksikan apa yang mereka lakukan, kami melaporkan apa yang mereka lakukan, tapi kami tidak mengusir mereka atau mencoba menjadi agresif,” kata Mahathir dalam sebuah wawancara dengan Benar News yang diterbitkan pada 28 September.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo mengatakan bahwa klaim agresif Cina terhadap Laut Cina selatan tidak sesuai dengan hukum internasional. Pompeo pada hari Rabu juga mengatakan bahwa pihaknya siap mendukung negara-negara yang batas teritorialnya dilanggar oleh Cina. Pernyataan ini disambut oleh berbagai negara salah satunya yaitu Vietnam.

“Vietnam menyambut baik posisi negara-negara lain dalam masalah Laut Cina Selatan yang sejalan dengan hukum internasional, sebagaimana dinyatakan pada KTT ASEAN ke-36 bahwa Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 adalah kerangka hukum yang mengatur semua kegiatan di laut,” ujar Juru Bicara Kementerian Vietnam, Le Thi Thu Hang.

Sementara dari Australia, Perdana Menteri Scott Morrison pada hari Kamis mengatakan bahwa negaranya akan dengan “sangat kuat” terus mengadvokasi kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan.

“Australia akan terus mengadopsi posisi yang sangat konsisten,” kata Morrison pada jumpa pers di Canberra ketika ditanya apakah negara itu mendukung posisi Amerika Serikat di Laut Cina Selatan.

Situasi Laut China Selatan (LCS) hingga kini kian memanas. China dengan tegas ingin berkuasa di LCS, Amerika Serikat yang didukung Jepang dan Australia akan mati-matian untuk mencegah penguasaan secara sepihak itu.

Salah satu negara ASEAN, yakni Filipina terang-terangan menyerah jika harus perang melawan China untuk memperebutkan batas lautnya yang masuk dalam klaim Beijing.

Menteri Luar Negeri, Retno Lestari Priansari Marsudi, mengatakan Indonesia tetap konsisten menghormati Konvensi Hukum Laut Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) sebagai panduan dalam sengketa di Laut China Selatan (LCS).

Sikap Indonesia sebagai negeri muslim terbesar semestinya aktif memobilisir kekuatan negara Kawasan (ASEAN) utk menentang AS-Cina yg melakukan pelanggaran kedaulatan lautnya. Sikap ‘netral’ dengan menghormati perjanjian UNCLOS menunjukkan kelemahan menjaga kedaulatan, karena terkungkung konvensi internasional yang dibuat negara penjajah.

Konflik Laut Cina Selatan ini erat hubungannya dengan ideologi kapitalisme yang di emban oleh AS, dan ideologi Sosialis yang di emban oleh Cina. Kedua negara ini saling berebut pengaruh dan ingin menguasai Laut Cina Selatan karena terdapat gas dan minyak di dalamnya.

Semua negara yang berada di kawasan Laut Cina Selatan bersikap diam dan netral dalam menghadapi konflik ini, karena mereka mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan dua kekuatan besar yang saat ini menguasai dunia dan menjajah mereka dengan cara menguasai dan menguras sumber daya alamnya sampai memiskinkan rakyatnya dan menjerat suatu negeri dengan hutang luar negeri. Inilah strategi politik luar negeri AS sang pengusung ideologi Kapitalisme Sekulerisme Demokrasi dan juga Cina sang pengusung ideologi Sosialisme Komunisme.

Adapun ideologi Islam saat ini belum diusung oleh negara manapun, ideologi kapitalisme sekulerisme dengan ikatan nasionalisme yang telah dirancang oleh penjajah membuat umat Islam tidak bersatu dan tidak mampu menghadapi dua kekuatan besar saat ini. Padahal Islam mempunyai kekuatan yang besar untuk memimpin dunia dan mampu menyatukan negara negara bangsa (nation state) untuk menjadi sebuah kekuatan yang besar dan telah terbukti mampu memimpin umat manusia di dunia selama 1300 tahun lamanya yaitu sejak hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah sampai tahun 1924.

Oleh karena itu, wajib adanya sebuah kelompok yang memperjuangkan ideologi Islam dan mengikuti langkah langkah yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dan perjuangannya harus bersifat global yang akan menyadarkan Umat manusia di dunia atas kegagalan ideologi kapitalisme dan sosialisme karena sejatinya mereka adalah penjajah. Walhasil hanya ideologi Islam yang layak memimpin dunia dengan aturan yang sempurna untuk meraih keridhoan Allah SWT, bukan ambisi untuk menjajah. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here