Luka Perih di Bumi Cendrawasih

0
365

Oleh : Irohima

Kelompok United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengumumkan pemerintahan sementara Papua Barat. Benny Wenda selaku pimpinan ULMWP mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden Papua Barat terhitung mulai tanggal 1 Desember 2020, seraya menolak segala aturan dan kebijakan dari pemerintahan Indonesia.

Sontak, pernyataan Benny Wenda menyita perhatian berbagai kalangan termasuk Mahfud MD yang menganggap deklarasi Benny Wenda tentang negara Papua Barat adalah ilusi. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo bahkan mengecam deklarasi sepihak kedaulatan Papua Barat dan menyebut apa yang dilakukan Benny Wenda adalah tindakan makar. Bambang menegaskan bahwa deklarasi Benny Wenda tidak sesuai dengan hukum internasional, konstitusi dan UU yang berlaku di Indonesia. Di sisi lain perwira tinggi Kepolisian menyebut TNI-Polri akan menindak tegas pihak-pihak yang mendukung Benny Wenda yang mencoba memisahkan Papua dari NKRI.

Sementara itu Manajemen Markas Pusat Komnas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat -Organisasi Papua Merdeka (TPNPB – OPM) telah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap pihak ULMWP. Mereka tidak mengakui deklarasi tersebut lantaran Benny berada di luar wilayah yang tidak memiliki legitimasi rakyat Papua.

Benny Wenda adalah tokoh separatis pemimpin kemerdekaan Papua Barat dan Ketua Gerakan Pembebasan Papua Barat, selama ini Benny Wenda aktif melakukan lobi-lobi internasional guna mencari dukungan untuk mengukuhkan kemerdekaan Papua Barat. Latar belakang Benny melakukan itu karena Benny menilai adanya diskriminasi dari pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua. Benny Wenda kerap bersinggungan dengan hukum hingga pernah dijatuhi hukuman 25 tahun penjara, namun Benny berhasil kabur dari tahanan pada 27 Oktober 2002 dan dengan dibantu aktivis kemerdekaan Papua, Benny diselundupkan melintasi perbatasan Papua Nugini dan dibantu LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris dimana ia diberikan suaka politik.

Disintegrasi yang terjadi di Papua dipicu oleh banyaknya permasalahan kompleks yang tidak diatasi dengan cepat sehingga menimbulkan peningkatan konflik yang berujung menjadi upaya memisahkan diri. Permasalahan konflik yang sering terjadi di Papua ditengarai sebagai akibat dari ketidakpuasan atas kebijaksanaan pemerintah pusat dimana segala sumber tatanan hukum di negara ini berpusat. Dari segala bentuk persoalan, entah itu politik, ekonomi, agama, sosial dan kemanusiaan sesungguhnya memiliki kesamaan pola yakni dimulai dari ketidakadilan yang diterima masyarakat pada umumnya hingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemerintah.

Konflik yang berkepanjangan di suatu daerah sebenarnya berawal dari berbagai kebijakan yang menghasilkan kekecewaan demi kekecewaan yang jika diakumulasi akan berpotensi menimbulkan gerakan radikal dan separatisme yang sulit dipadamkan. Tentu kita masih ingat akan kerusuhan di Wamena 23 September 2019, persekusi terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya, serta dua kasus pelanggaran HAM berat di Papua yaitu kasus Wasior tahun 2011, dan kasus Wamena tahun 2003 yang sudah diselesaikan Komisi Hak Asasi Manusia namun tak kunjung diselesaikan Kejaksaan Agung. Papua tak henti dilanda konflik berdarah dan ini menunjukkan bahwa pemerintah tak punya kendali atas rakyat Papua. Tanah Papua memang kaya namun tak bisa menghapus fakta bahwa Papua menjadi provinsi termiskin di Indonesia, provinsi dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah dan menjadi provinsi yang sering terabaikan. Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor munculnya kekecewaan dan ketidakpuasaan masyarakat hingga berujung pada disintegrasi.

Isu Papua merdeka sejatinya telah bergulir dari sejak lama, isu ini menjadi isu yang paling sensitif. Mengingat Papua memiliki sejarah tersendiri. Sejak dulu Papua menjadi incaran banyak negara besar yang punya kepentingan, selain karena kekayaan alamnya, Papua merupakan lokasi strategis bagi mereka yang berada dalam lingkaran pertarungan global hingga tak mengherankan jika dukungan dari pihak luar akan isu Papua merdeka telah mulai bermunculan seperti dukungan dari Vanuatu, Solomon, Fiji dan Papua Nugini. Sudah jadi rahasia umum jika banyak negara berharap Papua merdeka karena akan menjadi lebih mudah menjajah, dan mengeksploitasi Papua jika lepas dari Indonesia.

Telah lama kekayaan alam Papua diperkosa habis habisan oleh asing. Hamparan gunung emas Papua begitu kontras dengan kehidupan sebagian besar masyarakat Papua yang tak tersentuh pemerataan kesejahteraan. Meski itu bukan satu satunya faktor munculnya disintegrasi namun ketidakadilan dan adanya diskriminasi menjadi faktor yang dominan dalam memunculkan disintegrasi.
Sinyal dukungan internasional atas kemerdekaan Papua harusnya membuat pemerintah siaga dan tegas dalam bersikap di dalam dan luar negeri. Jangan sampai isu Papua merdeka ditunggangi berbagai pihak yang mempunyai kepentingan. Deklarasi sepihak Benny Wenda sangat mungkin bisa menggoyang wibawa pemerintah dan mengancam kedaulatan negara.

Permasalahan Papua yang begitu kompleks tak cukup hanya diatasi melalui pendekatan kesejahteraan, persoalan Papua haruslah dilihat secara keseluruhan hingga dapat ditangani hingga ke akar akarnya. Jika tidak, negeri ini akan terus dibayang -bayangi ancaman disintegrasi bangsa, khususnya tanah Papua. Kondisi kemiskinan dan keterbelakangan yang selama ini identik dengan Papua tak pelak membuat sebagian besar masyarakat Papua menganggap mereka tidak memiliki negara karena negara dianggap tak pernah hadir untuk melindungi bahkan justru lebih terlihat seperti penjajah karena negara telah melegalisasi eksploitasi tanah mereka. Pembangunan infrastruktur yang dibuat tidak juga bisa mensejahterakan mereka, karena sejatinya pembangunan infrastruktur yang dilakukan hanya dinikmati agen-agen dan kelompok kaya.

Harusnya kita belajar dari lepasnya Timor Leste, peristiwa Aceh, dan Maluku yang banyak menimbulkan korban rakyat sipil dan keterpurukan ekonomi. Betapa berbagai konflik tersebut banyak dimanfaatkan oknum yang ingin menarik keuntungan dari terpecah belahnya wilayah Indonesia. Kala ittu Timtim lepas dari Indonesia karena kekuasaan negara yang lemah juga adanya tekanan internasional.

Sejak dulu Indonesia adalah syurganya para penjajah. Potensi SDA yang melimpah, posisi geopolitik dan geostrategis membuat indonesia layaknya gadis molek yang diperebutkan. Banyak bangsa-bangsa besar berusaha menguasai dan melemahkan Indonesia dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai objek penjajahan. Kita mungkin telah merdeka secara fisik namun sejatinya kita belum pernah merdeka sepenuhnya karena apapun yang terjadi saat ini dan apapun yang kita lakukan adalah hasil dari penerapan sistem yang berasal dari penjajah. Mulai dari sistem politik, ekonomi, sosial, budaya dan seluruh aspek yang menyangkut kehidupan. Sistem demokrasi yang kita adopsi telah nyata membuat negara menjadi lemah dan mudah disetir asing. Sistem ekonomi warisan penjajah yaitu kapitalisme juga telah membuat banyak aset negara hilang, belum lagi sistem sosial budaya ala barat yang sekuler dan liberal telah meniscayakan masyarakat menjadi lemah, minus nilai moral, miskin visi dan berpikir pragmatis, ditambah dengan penerapan hukum warisan penjajah, membuat kondisi masyarakat makin hancur.

Begitu kejam dan bahayanya sistem demokrasi untuk dipakai dan diterapkan, Rasanya tak ada alasan lagi buat kita untuk mempertahankan demokrasi yang terbukti menyengsarakan. Dan juga tak ada alasan lagi bagi kita untuk menolak sistem Islam yang ditawarkan, karena saat ini umat butuh sistem yang aturannya mampu mensejahterakan, memberi keadilan dan mampu menjadi solusi mumpuni di setiap kondisi termasuk kondisi ancaman disintegrasi.
Hanya sistem Islam yang mampu membuat negara kuat dan berdaulat. Islam jualah yang bisa menyatukan umat dan mencegah kezaliman dan penjajahan karena Islam tak pernah tunduk pada kekuatan asing. Islam menjaga harta, tanah dan nyawa setiap warganya , meski non muslim. Dalam Islam ,warga negara mempunyai hak yang sama dan akan diperlakukan adil meski berbeda agama, ras ataupun suku. Aturan Islam memang hadir untuk menjadi rahmat bagi semesta, sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa saat Islam diterapkan, 2/3 dunia hidup sejahtera, aman dan sentosa dibawah naungan kepemimpinan Islam. Dengan Islam kita tak perlu khawatir dengan disintegrasi atau Papua yang ingin melepaskan diri. ***

Wallahualam bisshawab….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here