Oleh : Amy Sarahza
Seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Subang, Jawa Barat, bernama Ahmad Rizal membongkar jalan yang sebelumnya ia bangun. Hal ini dilakukan karena ia mengalami kekalahan saat Pemilu 2024. Selain itu, beliau juga menyalakan petasan di menara masjid di Tegalkoneng, Desa Tambakjati, Kecamatan Patokbeusi, Subang. Akibat aksinya tersebut, seorang warga bernama Dayeh (60) meninggal dunia terkena serangan jantung, (okenews 25 Februari 2024).
SEORANG tim sukses calon anggota legislatif (caleg) WG alias Wagino alias Gundul, 56, warga Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di pohon rambutan di kebun karet miliknya, sekitar pukul 11.00 WIB, Kamis (15/2) lalu. Kapolres Pelalawan Ajun Komisaris Besar (AKB) Suwinto membenarkan kejadian tersebut. Menurutnya WG diduga depresi lantaran caleg yang diusungnya tidak mendapatkan suara sesuai harapan atau kalah, (Media Indonesia 19 Februari 2024).
Warga Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur dihebohkan dengan penarikan material paving oleh salah satu calon anggota legislatif (caleg). Paving blok tersebut ditarik kembali setelah sempat dikirim menggunakan truk untuk pembangunan salah satu sudut jalan Desa Jambewangi.
Diduga, paving tersebut diambil kembali karena caleg itu tidak mendapatkan dukungan suara dari masyarakat desa seperti yang dikehendaki. Menurut keterangan warga, yang mengambil kembali material paving tersebut adalah tim caleg dari Partai Nasdem, (Kompas.com 19 Februari 2024).
Pesta Rakyat sudah berakhir 14 Februari 2024 tadi, tapi ada ada saja berita yang muncul setelah pesta demokasi tersebut. Padahal hasil suara belum final karena baru dari hasil hitung sementara saja, KPU sendiri belum mengeluarkan hasil resmi perolehan suara. Beberapa caleg dan timsukses yang terlanjur kecewa, karena mendapat suara rendah mengalami depresi, frustasi, bahkan ada yang berakhir bunuh diri.
Nauzubillah, berbagai fenomena yang dialami para caleg dan timsesnya ini menggambarkan lemahnya kondisi mental mereka sehingga hanya siap menang dan tidak siap kalah. Ketika ternyata suara yang diperoleh sedikit, mereka merasa tertekan, stres, depresi, bahkan ada yang nekat bunuh diri. Seolah-olah dunia mereka hancur karena kalah dalam pemilu.
Gila! Jabatan adalah salah satu fenomena yang dilahirkan sistem kapitalisme, dalam sistem ini jabatan menjadi hal yang sangat menggiurkan dan menjadi jalan ninja untuk mengumpulkan harta dan tahta.
Demi jabatan mereka rela bersaing ketat dalam kontestasi ini, berharap bisa melenggang ke kursi parlement, bahkan beberapa ada yang rela merogoh kocek dalam dalam, rela menjual aset pribadi : rumah, tanah, perhiasan, mobil dll. Mirisnya ada juga yang rela berutang karena sudah kehabisan modal.
Uang tersebut mereka gunakan untuk membiayai timses, mencetak alat peraga kampanye, dan yang paling banyak dananya adalah untuk membeli suara rakyat dengan memberikan “amplop serangan fajar” menjelang pencoblosan, juga pemberian bantuan fisik seperti pembangunan jalan, dan lainnya.
Ketika semua hal tersebut sudah mereka lakukan demi mendapatkan jabatan dan ternyata gagal, dunia seolah hancur, jadilah mereka mengalami depresi. Inilah gambaran orang-orang yang gila jabatan di dalam sistem kapitalisme. Ketika gagal memperoleh jabatan, mereka bisa menjadi benar-benar gila.
Sudah bukan rahasia lagi pesta demokrasi di negeri ini berbiaya sangat tinggi, mulai dari kampanye sampai menjelang pemilu, semua caleg rela habis-habisan. Karena tidak ada yang gratis dalam sistem Kapitalisme termasuk dalam memperoleh suara rakyat.
Dan sudah menjadi hal lumrah pula, rakyat pun mendulang cuan di hari-hari menjelang pemilu karena mereka mengharapkan uang dari caleg “amplop serangan fajar” bahkan 1 orang bisa mengantongi beberapa amplop serangan fajar. Rakyat paham bahwa di dalam demokrasi kapitalisme, para pejabat akan mendadak kaya karena jabatannya. Oleh karenanya, mereka menganggap wajar jika rakyat juga berhak mendapatkan uang atas suara yang diberikannya.
Demikianlah, kesalahan pandangan terhadap jabatan telah mengakar di tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena prinsip sekularisme yang telah menancap kuat di tengah masyarakat. Prinsip Islam tentang jabatan pun ditinggalkan.
Jabatan Adalah Amanah
Islam memiliki prinsip bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.. Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah SAW memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).
Tersebab jabatan adalah amanah, orang yang memegang jabatan sejatinya sedang memikul amanah berat yang harus ia pertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan syariat Allah Taala. Jika ia berlaku adil, yakni menetapi syariat Allah SWT, ia akan beruntung. Jika berlaku zalim, kelak ia akan menyesal di akhirat.
Itulah sebabnya ketakwaan menjadi syarat mutlak bagi para pejabat di dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Hanya orang bertakwa yang boleh menjadi pemimpin dan pelaksana urusan umat. Sedangkan orang-orang zalim dan fasik tidak boleh menjadi pejabat.
Di dalam Khilafah, profil penguasanya adalah orang-orang yang takut pada Allah SWT sehingga tidak akan mencari keuntungan pribadi di dalam jabatannya. Profil inilah yang tampak pada diri Rasulullah (SAW). Meski menjadi penguasa yang agung, kehidupan beliau sederhana. Sedangkan umumnya penguasa saat itu memiliki istana megah, pakaian mewah, dan harta berlimpah, tetap beliau tetap zuhud.
Profil penguasa yang tidak tamak terhadap jabatan ini juga diteruskan oleh khulafaurasyidin. Sudah masyhur di tengah kita tentang profil Umar bin Khaththab yang bajunya tambalan dan tidur di bawah pohon kurma, sampai-sampai membuat heran utusan dari negara lain yang hendak menemuinya. Begitu pula profil Umar bin Abdul Aziz yang menyerahkan hartanya, termasuk kalung istrinya, ke baitulmal. Sedangkan beliau hidup sederhana.
Pemilihan Pemimpin Dalam Islam
Sistem Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang khas sehingga menghasilkan pemimpin yang adil. Dari sisi syarat penguasa saja sudah tampak kekhasannya. Syarat penguasa di dalam Islam adalah laki-laki, balig, berakal, muslim, merdeka, adil, dan mampu. Syarat adil ini maknanya adalah tidak fasik, artinya sang penguasa tersebut haruslah orang yang bertakwa. Dengan demikian, orang yang gila jabatan tidak akan memenuhi kriteria adil tersebut.
Terkait pemilihan pemimpin, syarak telah menentukan bahwa rakyat memiliki wewenang untuk memilih pemimpin negara (khalifah) maupun perwakilan rakyat yang duduk di Majelis Umat (lembaga berisi wakil rakyat yang bertugas memberi nasihat pada penguasa, tidak memiliki fungsi legislasi). Namun, mekanisme pemilu di dalam Islam bersifat sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, dan penuh kejujuran.
Tidak ada janji-janji politik yang penuh pencitraan dan kepalsuan sebagaimana hari ini. Oleh karenanya, tidak ada praktik politik uang di dalam pemilu di sistem Islam. Pemilihan berlangsung secara adil, sesuai syariat.
Pemilihan yang adil ini didukung oleh para calon yang berkepribadian Islam. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa sehingga memandang jabatan adalah amanah. Sedangkan keterlibatan mereka di dalam pemilihan pemimpin adalah semata mengharap rida Allah semata. Yang terbayang setelah terpilih adalah beratnya amanah yang harus dipikul, bukan keuntungan materi. Wallahualam bissawab.