
Oleh: Yuliani Yamin
Islam adalah ideologi, bukan hanya perkara keyakinan, tetapi juga mengatur seluruh urusan kehidupan. Syariat Islam kafah akan menjadi solusi ketika diterapkan secara sempurna oleh negara. Islam memiliki konsep kepemimpinan yang istimewa serta berbeda dengan sistem mana pun yang ada di dunia.
Hidup di bawah kepemimpinan sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) sudah terbukti sangat menyengsarakan dan memunculkan banyak permasalahan. Wajar saja sistem ini tidak mampu memberikan jawaban kesejahteraan. Pasalnya, semua aturan dan kebijakan yang diterapkan meniadakan aturan agama, lebih tepatnya menghilangkan peran Islam dalam kehidupan. Padahal, risalah Islam berasal dari Allah Swt., Sang Pencipta manusia dan seluruh makhluk, Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aturan Islam yang menjamin terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia.
Kepemimpinan sekuler—yang berpadu dengan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalistik—telah melahirkan pragmatisme dalam mengelola negara. Memunculkan tindakan dan keputusan yang lebih mengutamakan hasil praktis daripada prinsip moral, serta mengedepankan kepentingan pemilik modal daripada memperhatikan nasib rakyat. Kekuasaan pun menjadi alat untuk kepentingan kelompok dan keluarga. Alhasil, hubungan rakyat dengan penguasa terpisah dan berjalan sendiri-sendiri, tidak ada hubungan kuat yang mengikat, dan jauh dari prinsip ri’ayah dan pertanggungjawaban.
Salah satu contoh kebijakan yang tidak memperhatikan kondisi rakyat adalah rencana kenaikan PPN menjadi 12%. Sebenarnya, perkara ini bukanlah hal baru. Sejak UU 7/2021 disahkan, telah ditetapkan tarif PPN sebesar 11% dan target kenaikan menjadi 12% yang akan diberlakukan paling lambat per 1 Januari 2025. Jelas ini adalah kebijakan zalim yang membuat masyarakat makin tercekik.
Tidak kalah menyesakkan, pemberlakuan UU Ciptaker tampak lebih mementingkan pemilik modal, sedangkan hak-hak rakyat justru diamputasi. Penguasaan kekayaan milik umum oleh segelintir orang menyebabkan distribusi kekayaan hanya berputar di sekitar pemilik modal. Jika realitasnya demikian, jelas bahwa penguasa bukan berfungsi sebagai pengurus rakyat, melainkan penjaga kepentingan pengusaha.
Dalam kepemimpinan sekuler kapitalistik, kekuasaan mengendalikan lembaga hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, KPK, dan lainnya. Alhasil, negara telah berubah menjadi negara kekuasaan. Hukum tidak lagi menjadi panglima, tetapi menjadi alat untuk memukul siapa saja yang tidak berpihak pada kekuasaan, juga bisa digunakan untuk menghadang pihak-pihak yang dituding bisa mengancam para pengusaha.
Ditambah lagi tingginya kecelakaan lalu lintas berdampak besar pada kehidupan sosial masyarakat. Ada seorang anak dan istri yang kehilangan ayah dan suami mereka. Sekitar 5000 orang dari ratusan juta ibu di Indonesia menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya meninggal karena kecelakaan. Meskipun faktor manusia merupakan yang paling dominan, kecelakaan lalu lintas pun bisa disebabkan oleh faktor lainnya seperti regulasi dan pelayanan infrastruktur transportasi. Kecelakaan terjadi, misalnya, karena jalan yang rusak, tidak berfungsinya marka, rambu, dan alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL). Tidak berfungsinya prasarana lalu lintas ini tidak bisa dilepaskan dari kelalaian pemerintah, karena penanggung jawab prasarana lalu lintas adalah negara.
Kita melihat prasarana lalu lintas rusak, namun tidak kunjung diperbaiki dengan alasan kurang dana. Ini seperti pernyataan Direktur Jenderal Kementerian PUPR saat itu, Hedy Rahadian pada 2023, bahwa jalan rusak di daerah tidak juga diperbaiki karena pihaknya tidak memiliki dana untuk perbaikan. Anehnya, pembangunan jalan di pusat ekonomi, yang sudah memiliki jalan arteri dan jalan tol, masih terus ditambah dengan pembangunan infrastruktur transportasi lainnya.
Selain itu, banyaknya kendaraan juga berpotensi besar meningkatkan kecelakaan lalu lintas. Sayangnya, alih-alih membatasi kepemilikan kendaraan, pemerintah malah terlihat semakin intens bekerja sama dengan perusahaan otomotif. Pemerintah memberikan subsidi kepada rakyatnya yang ingin membeli kendaraan listrik dengan maksud agar kendaraan berganti dari kendaraan konvensional berbahan bakar bensin dan solar yang tidak ramah lingkungan menjadi kendaraan listrik.
Namun faktanya, mereka bukannya menukar mobilnya menjadi listrik, melainkan menambah kepemilikan mobil. Akibatnya, jalan raya penuh dengan kendaraan. Di sisi lain, infrastruktur jalan tidak dijamin untuk senantiasa dalam kondisi layak, mudah, serta aman untuk dilalui. Prosedur perbaikan jalan pun berbelit dan tidak mudah dilaksanakan. Hal ini menyebabkan jalan penuh dengan kendaraan sehingga potensi kecelakaannya makin tinggi. Negara juga abai terhadap pendidikan untuk keamanan berkendara, termasuk dalam proses penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM). Polri pada 2023 mencatat, pelaku kecelakaan lalu lintas tertinggi didominasi oleh pelaku yang tidak memiliki SIM, yakni 63% dari total pelaku atau sejumlah 19.778 orang.
Belum lagi proses peradilan yang mudah dikendalikan oleh uang. Mereka yang memiliki uang dan koneksi bebas melakukan apa pun termasuk melanggar rambu-rambu lalu lintas dan ugal-ugalan di jalan. Orang yang berduit juga akan mudah terbebas dari jeratan hukum, sehingga hal ini turut menyebabkan angka kecelakaan akibat faktor kelalaian manusia makin tinggi. Akhirnya, Siapa pun yang mendambakan kesejahteraan, mestinya sulit mempertahankan kepercayaan pada sistem yang sudah terbukti menyengsarakan ini. Bahkan, sudah seharusnya meninggalkan sistem gagal ini dan beralih pada sistem yang akan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Ganti Paradigma
Hal-hal teknis di atas menjadi persoalan besar ketika paradigma negara sebagai pengurus rakyat tidak terwujud. Abainya pemerintah dalam mengurusi umat juga tidak bisa dilepaskan dari paradigma tata kelola negara yang kapitalistik. Negara hanya memosisikan dirinya sebagai regulator, bukan pengurus bagi rakyatnya. Hubungan pemerintah dengan rakyat bagai penjual dan pembeli. Pemerintah menjual apa yang dibutuhkan rakyat dan rakyat dipaksa untuk membelinya. Walhasil, hanya sebagian kecil saja rakyat yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan layak.
Misalnya saja alat transportasi, banyaknya orang membeli dan merasa lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi karena realitas transportasi umum sangat buruk. Pemerintah juga cenderung setengah hati mewujudkan transportasi massal yang murah dan aman. Sebaliknya, aspek pelayanan dari pemerintah kepada rakyat sejatinya adalah solusi untuk mengurangi tingkat kecelakaan. Dan hal ini tidak terlepas dari paradigma negara kapitalistik yang sejatinya menjadikan pemilik modal sebagai pengendali kebijakan negara. Hampir seluruh kebijakannya mengikuti kepentingan pemilik modal. Pemerintah pun lebih memilih bekerja sama dengan perusahaan otomotif untuk menyelesaikan angka kecelakaan, berbagai persoalan lalu lintas, dan transportasi.
Bukti lainnya, saat prasarana lalu lintas rusak di pelosok daerah, hal itu terus saja dibiarkan, padahal pembangunan infrastruktur di pusat ekonomi masif dilakukan. Begitu pula kebijakan kepemilikan kendaraan yang alih-alih dibatasi, kian hari justru dipermudah, sedangkan semua itu tentu saja mengarah pada keuntungan besar para pemilik modal. Parahnya lagi, negara juga seperti membiarkan praktik suap-menyuap di peradilan yang membuat hukum di negeri ini mandul menyelesaikan masalah. Negara hanya fokus berjual beli dengan rakyatnya. Pada saat yang sama, pemburu rente terus tanpa lelah mencari peluang mendapatkan cuan dari rakyat. Sayang, kondisi ini makin buruk. Penyelesaian persoalan kecelakaan lalu lintas tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengedukasi masyarakat akan pentingnya mematuhi lalu lintas, harus ada perubahan paradigma, dari kapitalisme menjadi Islam.
Islam akan menjadikan penguasa untuk memperhatikan dengan serius kondisi jalan sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai raa’in yang mengurus semua kebutuhan rakyat. Sebab, paradigma negara dalam Islam adalah institusi yang mengurus dan melindungi rakyatnya, bukan institusi yang berperan sebagai regulator semata. Kebijakan negara Islam bersifat independen sehingga seluruh keputusan hanya bermuara pada kepentingan umat. Tidak ada kerja sama negara dengan perusahaan atau lembaga mana pun tanpa melihat sisi kemaslahatannya bagi umat. Penguasa amanah yang terlahir dari sistem politik Islam akan mampu mewujudkan kebijakan yang adil dan menyejahterakan rakyat.
Konsepsi Kepemimpinan dalam Islam
Islam adalah ideologi, bukan hanya perkara keyakinan, tetapi juga mengatur seluruh urusan kehidupan. Syariat Islam kafah akan menjadi solusi ketika diterapkan secara sempurna oleh negara. Islam memiliki konsep kepemimpinan yang istimewa serta berbeda dengan sistem mana pun yang ada di dunia.
Konsep-konsep Islam diistinbat dari seruan Allah SWT dan Rasul-Nya(nas syar’i). Asy-Syaari telah membatasi berbagai tanggung jawab umum yang wajib atas penguasa dengan ketentuan dan batasan yang sangat jelas. Batasan tersebut mencakup tanggung jawab penguasa terkait hal-hal yang wajib dipenuhi dalam dirinya sendiri sebagai penguasa, serta tanggung jawab terkait hubungannya dengan rakyat.
Dari hasil penggalian nas-nas syar’i, Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid II menggambarkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin Islam, di antaranya kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati.
Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberikan jabatan kepadaku?’ Beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau, lalu berkata, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu seorang yang lemah. Sesungguhnya ia (jabatan) adalah amanah. Sesungguhnya pada Hari Kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajibannya di dalamnya.’”
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus diemban oleh orang-orang yang kuat sehingga ia akan mampu menunaikan seluruh amanahnya dengan baik. Sementara itu, orang yang dianggap lemah diingatkan untuk tidak mengambilnya karena berpotensi pada pengabaian amanah yang akan berujung pada kehinaan dan penyesalan.
Seorang pemimpin harus menghiasi dirinya dengan sifat takwa. Ketakwaan harus melekat, baik waktu ia sebagai dirinya sendiri atau ketika menjadi pemimpin rakyatnya. Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Dahulu jika Rasulullah ﷺ mengangkat seorang pemimpin atas pasukan atau sariyyah (detasemen), beliau berpesan kepadanya dengan ketakwaan kepada Allah dalam dirinya sendiri, dan agar ia memperlakukan kaum muslim yang bersamanya dengan baik.’”
Salah satu amanah yang ada di pundak seorang pemimpin adalah menegakkan kedisiplinan, keadilan, dan bersikap tegas. Agar dalam menjalankan amanah tersebut tidak menyusahkan rakyatnya, Asy-Syaari’ memerintahkan pemimpin untuk bersikap lemah lembut.
Dari Aisyah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ berkata di dalam rumahku ini, ‘Ya Allah, barang siapa memimpin umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Barang siapa memimpin umatku, lalu ia bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lemah lembut terhadapnya.’” (HR Muslim).
Terkait hubungan penguasa dengan rakyatnya, Islam memerintahkan seorang pemimpin harus senantiasa memperhatikan rakyatnya dengan memberinya nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta milik umum, dan mewajibkannya agar memerintah rakyat hanya dengan Islam. Sebaliknya, peringatan keras diberikan kepada para penguasa yang memperlakukan rakyat dengan pengurusan yang buruk. Sebagaimana tercantum dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar, ia berkata, “Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda, ‘Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memperhatikan mereka dengan nasihat, kecuali ia tidak akan mendapatkan bau surga.’” (HR Bukhari).
Hadis berikutnya, masih diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidak ada seorang penguasa pun yang memerintah kaum muslim, lalu ia mati sedangkan ia dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan baginya surga.’”
Hadis Rasulullah ﷺ tersebut merupakan arahan bagi seorang pemimpin agar tidak mengabaikan hak-hak rakyatnya, tidak menipu mereka. Termasuk tidak membuat aturan dan kebijakan yang menyengsarakan mereka yang dibungkus dengan iming-iming, seperti pembagian berbagai bantuan. Jelas bukan kebijakan yang menyejahterakan, melainkan tipuan yang menzalimi. Larangan menyentuh harta milik umum juga sangat diperingatkan oleh Baginda Rasul ﷺ. Beliau dengan tegas mengkritik pegawai yang sudah beliau angkat untuk menyelesaikan sebuah amanah. Ia adalah Abu Lutaibah yang ditunjukkan Nabi ﷺ untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Kemudian ketika menjalankan tugas tersebut, ia mendapatkan hadiah. Lalu Rasulullah ﷺ meresponsnya dengan menyampaikan khotbah di depan khalayak, “Amma ba’du. Sesungguhnya aku menugaskan beberapa orang laki-laki di antara kalian untuk mengurusi hal-hal yang dikuasakan kepadaku oleh Allah. Lalu salah seorang dari kalian datang dan berkata, ‘Ini milikmu dan yang ini hadiah yang dihadiahkan kepadaku.’ Kenapa tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, sampai datang kepadanya hadiah, jika ia benar? Demi Allah, tidak seorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan, kecuali ia akan menanggungnya pada Hari Kiamat.” (HR Bukhari).
Jika hadis tersebut diterapkan oleh seorang pemimpin, hal itu akan menutup pintu rasuah (penyogokan) dan korupsi yang kasusnya terus menjadi-jadi dalam sistem kepemimpinan sekuler, yang mana harta rakyat masuk ke dalam kantong segelintir penguasa yang tidak amanah. Islam menetapkan bahwa seorang pemimpin diangkat (dibaiat) untuk menjalankan hukum syarak. Dia wajib memerintah dengan kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya. Asy-Syaari’ juga memberikan hak kepada pemimpin untuk berijtihad, serta melarangnya mengambil selain hukum Islam. Allah SWT menyebut mereka yang tidak menerapkan hukum yang diturunkan-Nya sebagai kafir, zalim, dan fasik (lihat QS Al Maidah ayat 44, 45, dan 47).
Ketika pemimpin Islam hadir menerapkan syariat secara kafah, keadilan dan penegakan kebenaran bukan sebatas teori dan janji, melainkan betul-betul terealisasi. Sejarah mencatat gambaran tersebut. Sosok pemimpin yang menerapkan kepemimpinan Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Keadilan beliau ﷺ dalam menegakkan hukum sungguh tampak nyata.
Kepemimpinan Islam Terbukti Menyejahterakan dan Menegakkan Keadilan
Aisyah ra. menuturkan, suatu ketika kaum Quraisy gelisah memikirkan nasib seorang wanita makhzumiyyah yang telah melakukan pencurian. Mereka berkata, “Siapa yang sanggup melobi Rasulullah ﷺ terkait ini?” Mereka menjawab, “Tidak ada yang berani, kecuali Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah ﷺ.” Lalu Usamah pun melobi beliau. Rasulullah ﷺ kemudian bersabda, “Apakah kalian hendak meringankan hukuman syar’i (had) di antara hukuman-hukuman syar’i Allah?” Kemudian beliau bangkit dan berkhotbah, “Wahai manusia, sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena apabila yang melakukan pencurian itu orang terpandang, mereka biarkan; tetapi apabila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan had atasnya. Demi Allah, kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.” (HR Muslim).
Sosok pemimpin Islam tidak berhenti pada diri Rasulullah ﷺ, para khalifah setelah beliau pun terus melanjutkan konsep kepemimpinan beliau. Di antaranya Khalifah Umar bin Khaththab, sosok pemimpin yang peduli dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam Tarikhul Khulafa mengisahkan bahwa Khalifah Umar adalah orang yang pertama kali membuat lumbung-lumbung cadangan makanan (seperti tepung gandum, kurma, kismis, dan air) di antara Kota Makkah dan Madinah. Tujuannya adalah agar para pedagang, musafir, atau bahkan yang pergi haji/umrah tidak kelaparan jika persediaan bekal mereka habis. Makanan-makanan ini dibagikan secara gratis bagi mereka yang membutuhkannya.
Khalifah Umar pula yang menetapkan kebijakan untuk tidak membagikan tanah Irak, Syam, dan Mesir. Berdasarkan pemahaman beliau terhadap ayat-ayat fai, harta tersebut tidak dibagi-bagikan kepada pasukan yang ikut berperang, tetapi dimasukkan ke dalam sumber pendapatan yang bersifat tetap dan pasti untuk berbagai pembiayaan. Dari sumber tersebut, dibiayai seluruh kemaslahatan negara, baik untuk tentara, makanan, orang-orang fakir dan miskin, anak yatim, para janda, juga untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslim. Demikianlah yang disampaikan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah.
Memahamkan Umat tentang Kepemimpinan Islam Wajib Dilakukan
Upaya memahamkan umat tentang kepemimpinan Islam wajib dilakukan bagi setiap muslim yang berilmu. Hal ini diyakini dapat mempercepat terciptanya kepemimpinan yang dapat membawa umat ke jalan tauhid, yaitu selamat hidup di dunia dan akhirat yang sangat dibutuhkan pada akhir zaman ini.
Muslim yang bertakwa meyakini bahwa mengajak orang ke jalan kebaikan ganjarannya adalah pahala di sisi Allah Taala. Oleh sebab itu, setiap muslim harus mempersiapkan diri agar dapat berperan mengambil bagian dalam kebaikan ini dengan belajar menimba ilmu sehingga siap memahamkannya kepada umat, khususnya keluarga sendiri dan orang di sekitar kita sehingga terwujudnya kepemimpinan Islam yang melahirkan para pemimpin pengurus umat sebagaimana peran para pemimpin dalam sudut pandang Islam. Wallahu’alam bisawab.


