Kliksumatera.com, BANDARLAMPUNG – Dua pekan lebih sudah, suasana khusyuk ibadah bulan suci umat muslim sedunia kita jalani.
Kekhusyukan lahir dan batin itu sama sekali tidaklah berkurang, kendati kita menjalaninya tahun ini dalam situasi yang sama sekali berbeda.
Inilah Ramadhan di tengah situasi kahar. Pandemi global yang ganas menyebar. 215 negara planet bumi, kini terpapar.
COVID-19, setelah wabah penyakit Flu Spanyol 1918-1920, sesama pagebluk penyerang saluran pernapasan pada manusia, inilah wabah anyar yang jadi bencana nonalam terbesar. Abad ini.
Bersama kolega, #belajardirumah dan #bekerjadarirumah, diksi beribadah di rumah, yang kemudian menurun jadi #jumatandirumah, #tarawihdirumah, bersegera, menjadi tagar.
Seketika, kita sontak sadar. Dalam menghadapinya, sesulit apapun itu, mesti tulus ikhlas dilakoni dengan ekstra sabar. Dan tetaplah, berikhtiar.
Sudah barang tentu, sebagian besar dari kita tak asing dengan kata satu ini.
Sekadar ilustrasi, simak saja jawaban Marketing Communication (Marcomm) Aksi Cepat Tanggap (ACT) Lampung, Hermawan WS, saat ditanya spontan seputar lima kata tentang ikhtiar.
“Berusaha selalu menjadi yang terbaik,” sahutnya spontan saat diwawancara di kantornya, Jl Sudirman 73A Pahoman, Kecamatan Kedamaian, Kota Bandar Lampung, Jumat (8/5/2020) petang, pekan lalu.
Ilustrasi jawaban itu, jika ditemalikan dengan situasi kala seseorang tengah mengharap sesuatu misal perubahan nasib, limpahan rezeki/ilmu, kelulusan ujian, nikmat sehat, nikmat senyum, bahkan nikmat oksigen –cuma-cuma bin gratis Allah Yang Maha Kuasa beri seumur hidup kita.
Maka, seseorang itu harus melakukan suatu upaya lahiriah secara aktif dan nyata, senyata-nyatanya. Mengutip laman ofisial Nahdlatul Ulama (NU), edisi 21 Maret 2020, hal inilah yang disebut ikhtiar atau usaha.
Demikian pula jika kita berharap agar terhindar atau selamat dari ancaman virus mematikan itu. Kita harus fokus memperhatikan petunjuk para ahli di bidang kesehatan.
Sebab apa? “Merekalah, yang secara khusus mendalami ilmu di bidang ini, yang hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah, sebagaimana pendapat Imam al-Ghazali,” ulas laman itu, diakses Sabtu dini hari (9/5/2020).
Disebutkan, salah satu petunjuk ahli kesehatan terkait virus yang terbukti dapat menular-menyebar sangat cepat ini, agar kita menghindari berkumpul dalam jumlah besar, dalam waktu dan tempat yang sama.
Alasannya, hal semacam ini berpotensi menularkan dan menyebarkan virus dengan terjadinya kontak fisik secara langsung di antara orang-orang yang berkumpul itu.
Petunjuk inilah yang lantas oleh para ulama tergabung lembaga seperti NU, Muhammadiyah, MUI (Majelis Ulama Indonesia), serta Kementerian Agama (Kemenag) RI, ditindaklanjuti dengan masif imbauan salah satunya untuk sementara tidak mengadakan shalat Jum’at juga shalat sunnah Tarawih di masjid-masjid bagi daerah-daerah di zona merah virus corona.
Agar masyarakat melaksanakan shalat Dzuhur empat rakaat di rumah masing-masing, anjuran penggantinya.
Lembaga keagamaan itu berwenang menelurkan imbauan tersebut, sebab memang itu sudah menjadi wilayah tanggung jawab mereka.
Kita bertanya, apakah usaha/ikhtiar agar terhindar dari tertular/menularkan virus corona memiliki dasar di dalam ajaran Islam?
Jawabnya ya. Yakni yang difirmankan Allah dalam Surat Ar-Ra’d, ayat 11: إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Merujuk ayat ini, ancaman corona bisa saja akan terus berlangsung sampai ada usaha-usaha nyata menanganinya.
Dalam hal ini, masih dikutip dari ulasan NU Online tadi, ada dua tindakan untuk menangani. Yakni mencegah atau to prevent, dan mengobati (to cure).
Mencegah, misalnya anjuran agar kita sementara waktu tak melaksanakan shalat Jum’at di masjid-masjid. Inilah kewajiban ulama. Sedang pengobatan hanya dapat dilakukan oleh dokter.
Berikhtiar wajib. Maka barangsiapa mau berikhtiar, ikhtiarnya akan dicatat sebagai ibadah. Jikalau ikhtiarnya lalu berbuah hasil, maka setidaknya ia akan mendapat dua keuntungan.
“Pertama, ia akan memperoleh pahala dari Allah. Kedua, ia akan mendapat keberhasilan atau manfaat dari apa yang telah ia usahakan,” laman NU menjabarkan.
Menyelia ulasan ini, mari kita simak lagi jawaban berbeda, tetap spontan, dari Yuhadi, putra dari mendiang Haji Sanan bin Asnawi, salah satu ulama tersohor Kota Bandarlampung.
“Upaya manusia (untuk) mencari keridlaan Allah,” sahut cepat Ketua Partai Golkar Kota Bandarlampung ini, dihubungi pukul 17.41 WIB, via kanal WhatsApp, Jumat petang lalu.
Lantas, bagaimana jika faktanya ialah ikhtiarnya belum juga berhasil? Maka, setidaknya ia akan mendapat pahala dari Allah. “Jika ia sabar, maka ia akan mendapatkan pahala yang berlipat,” tarik simpul laman NU.
Jadi, yang patut kita garisbawahi, tetap dan terus berikhtiar dengan apa yang kita bisa, mampu, dapat, dan sanggup lakukan, adalah penyala terbaik kita sebagai sebaik-baiknya umat manusia.
Sebab berikhtiar itu wajib, ia penting. Bahwa pula kita mesti terus berikhtiar memutus rantai penularan virus corona dengan taat asas dan ketat protokol, juga sama penting.
Jangan lupa, pakai masker pelindung pernapasan standar nonmedis jika kita berkegiatan di luar rumah atau ruang publik, jaga jarak sosial dan jarak fisik atau social dan physical distancing, jaga etika batuk, praktikkan pola hidup bersih dan sehat, cuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan seterusnya.
Karena sehat tidak dapat diwakilkan, marilah kita terus berikhtiar melawan pandemi corona. Ayo, Bersatu Lawan COVID-19! Tabik.
Laporan : Muzzamil
Posting : Imam Ghazali