Oleh: Widiawati
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengungkapkan kronologi meninggalnya 4 anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia di kapal berbendera Cina. Ia mengatakan ada 46 anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia bekerja di empat kapal berbendera Cina tersebut. Retno mengaku mendapat informasi ada jenazah dua ABK WNI di kapal Long Xin 269 yang dilarung di perairan Samudera Pasifik pada Desember 2019. Keputusan pelarungan jenazah ini diambil oleh kapten kapal karena kematian disebabkan penyakit menular dan hal ini berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya.
Atas kejadian itu, KBRI Beijing telah menyampaikan nota diplomatik meminta penjelasan atas kasus ini. Nota diplomatik KBRI Beijing telah dijawab oleh Kemlu RRT yang menjelaskan bahwa pelarungan telah dilakukan sesuai praktik kelautan intern untuk menjaga kesehatan awak kapal sesuai ketentuan ILO. (detik.com, 7/5/2020).
Eksploitasi dan Perbudakan ABK
Kisah ABK yang jenazahnya dilarung ke laut menjadi perbincangan publik. Kisah miris mereka diberitakan ulang oleh youtuberJang Hansol. Mereka merasa diperbudak oleh kapal berbendera Cina tersebut. Mereka bahkan hanya tidur tiga jam, bekerja sepanjang hari, makan dan minum dari hasil sulingan air laut dan umpan ikan. Sementara terhadap ABK asal Cina mereka diperlakukan istimewa.
Melansir dari laman bbcindonesia.com, 8/5/2020, Kementerian Tenaga Kerja melalui Plt Dirjen Binapenta dan PKK, Aris Wahyudi mengatakan akan melarang ABK yang tidak memenuhi standar kompetensi untuk bekerja di luar negeri. Dugaan kekerasan dan penahanan gaji oleh kapal ikan berbendera Cina, Long Xin 629 pun menyeruak ke permukaan.
Data dari Migrant Care menunjukkan mereka menerima 205 aduan kekerasan terhadap ABK Indonesia di kapal asing, juga gaji yang ditahan, dalam kurun waktu delapan tahun belakangan. Koordinator National Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, M. Abdi Suhufan, menyebut konflik di kapal sering terjadi karena ABK asal Indonesia tidak dibekali kemampuan bekerja di atas kapal asing.
Kompetensi yang dibutuhkan dalam hal ini setidaknya hal-hal yang berkaitan dengan bidang laut seperti gambaran melaut, penggunaan alat pancing, jaring dan sebagainya. Selain itu kemampuan bahasa asing juga tak dibekali. Hal ini memicu kerentanan konflik di kapal. Bayangkan saja, melaut di kapal asing hanya berbekal KTP, ijazah, buku pelaut, dan paspor, tanpa kemampuan dasar tentu saja rentan terjadi eksploitasi tenaga buruh di laut. Merespons peristiwa ini, pemerintah akan memperketat aturan awak kapal yang bekerja di kapal asing.
Perbudakan ABK yang berulang terjadi, tidakkah pemerintah semestinya mengambil pelajaran dari peristiwa sebelumnya? Mengapa baru akan memperketat aturan setelah kejadian ini viral di media sosial? Perlindungan terhadap ABK yang bekerja di kapal ikan semestinya dilakukan sejak dulu. Bukan setelah muncul masalah, baru bergerak membela.
Pelarungan terhadap tiga ABK Indonesia juga mengindikasikan perlakuan tak manusiawi kerap dialami pekerja migran. Sebagaimana nasib TKI yang bekerja di luar negeri. Sungguh miris. Pekerja yang bekerja di luar negeri selalu menjadi korban kekerasan negara lain. Tanpa jaminan dan perlindungan dari negara asal.
Hal ini membuktikan betapa murahnya harga tenaga kerja Indonesia bagi asing. Sekaligus menandakan bahwa peran negara dalam membuka lapangan kerja untuk penduduk pribumi terbilang minim. Mari bandingkan bagaimana perlakuan negara terhadap TKA Cina. Mereka diperlakukan bak anak emas. Sementara anak sendiri terkatung-katung tanpa kepastian kerja. Mereka pun berjibaku sendiri mendapat kerja dari agen pengiriman buruh secara liar dan ilegal. Alhasil, kasus TKI ilegal atau ABK ilegal tak dapat dihindari.
Di alam kapitalisme, fakta perbudakan modern masih berpeluang terjadi. Sebabnya, persoalan ekonomi seperti kemiskinan, tuntutan nafkah keluarga menjadi alasan para buruh bekerja tanpa henti. Sayangnya, perlindungan terhadap buruh formal atau informal begitu lemah. Meski payung hukum terhadap tenaga kerja itu ada, nyaris pelaksanannya masih jauh dari harapan. Inilah fakta bahwa sistem kapitalisme belum mampu menjawab solusi atas persoalan ekonomi, ketenagakerjaan, dan mengatasi kemiskinan. Yaitu jaminan dan kesejahteraan.
Lemahnya Peran Negara
Negara adalah riayatus su’unil ummat. Negara adalah pengurus urusan umat. Negara adalah pelindung dan perisai bagi umat yang ada di belakangnya. Sayangnya, peran negara diamputasi di bawah ideologi kapitalisme. Dalam kapitalisme, negara tak ubahnya regulator bagi pemangku kepentingan. Hanya mengatur dengan kebijakan dan aturan tapi tak mampu melindungi serta menjamin kehidupan rakyatnya.
Siapa yang bermodal, dialah penguasa sesungguhnya. Dalam kasus dugaan perbudakan ABK, minimnya peran negara nampak jelas. Mengapa kasus itu lengah dari pengawasan? Haruskah menunggu kasus kekerasan ABK viral dulu baru negara bertindak? Bukankah negara memiliki seperangkat regulasi dalam persoalan awak kapal yang bekerja pada asing? Kok masih meleset dari perhatian?
Dalam menunaikan tugasnya, negara seharusnya membuat aturan dan pengawasan ketat terhadap perusahaan atau agen yang melayani pengiriman pekerja migran ke luar negeri. Dibuat sanksi yang tegas dan berefek jera. Agar perusahaan atau agen-agen nakal itu tak berulah melakukan praktik penyelundupan tenaga kerja. Dari sisi tenaga kerja, negara semestinya juga berperan dalam memberi pelatihan dan pembekalan dasar bagi pekerja. Tujuannya, agar mereka memiliki kompetensi mumpuni dalam mengarungi pekerjaan yang akan mereka lakukan. Bukan berbekal nekat atau minim kemampuan dan pengalaman.
Sudahkah negara berperan dari hulu ke hilir seperti itu? Membuat kebijakan, memberi pembekalan, melakukan kontrol dan pengawasan terhadap perusahaan dan pihak terkait? Sehingga perbudakan dan kekerasan yang kerap dialami buruh tak berulang.
Faktanya, negara sepertinya malas melakukan upaya preventif dan kuratif terhadap setiap persoalan. Negara abai dan lalai menjalankan tugasnya sebagai pelayan rakyat. Inilah wajah buruk sistem kapitalisme dalam bernegara. Apa peduli kapitalis terhadap nasib buruh dan pekerja? Non sense. Mereka hanya peduli perizinan yang longgar, keuntungan sebesar-besarnya, dan eksploitasi tenaga kerja tanpa belas kasih.
Masihkah berharap pada sistem kapitalisme yang banyak cacatnya di sana sini? Dalam masalah ketenagakerjaan, Islam memiliki seperangkat solusi. Tenaga kerja tak akan diperbudak sedemikian rupa. Apa yang menjadi kewajiban negara akan ditunaikan. Dan apa yang menjadi hak warganegara akan direalisasikan. Sebab, Islam melarang perbudakan. Islam juga melarang menahan gaji pekerja. Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda, “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR Ibnu Majah).
Dalam Islam, kontrak kerja dikenal dengan ijarah. Ijarah adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Adapun ijarah yang berhubungan dengan seorang pekerja (ajir) maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Karena itu, untuk mengontrak seorang pekerja harus ditentukan jenis pekerjaannya sekaligus waktu, upah, dan tenaganya.
Jenis pekerjaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur, karena transaksi ijarah yang masih kabur hukumnya adalah fasad (rusak). Yang juga harus ditetapkan adalah tenaga yang harus dicurahkan oleh para pekerja sehingga para pekerja tidak dibebani dengan pekerjaan yang di luar kapasitasnya. (Sistem Ekonomi Islam, Taqiyuddin an-Nabhani, hlm. 106).
Ada kejelasan jenis pekerjaan, waktu, upah, bahkan upah ini harus segera dibayarkan sebelum mengering ke ringat serta tenaga yang dikeluarkan. Islam mengatur begitu rinci. Sehingga kezaliman terhadap pekerja dapat diminimalisasi bahkan tidak terjadi sama sekali. Betapa indah manakala Islam diterapkan dalam bernegara. Karena hanya dengan sistem Islam lah nasib-nasib tragis para buruh dan pekerja akan terlindungi dan tak mungkin akan terjadi jika slam yang menaungi dalam naungan Daulah Islam. ***