Rcep Alat Baru Penyempurna Penjajahan Asean

0
301

Oleh : Yusseva, S.Farm

Tanggal 15 November 2020 menjadi tonggak sejarah baru Republik Rakyat China (RRC). Bersama dengan 10 negara anggota ASEAN ditambah Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. China bersepakat untuk mendirikan blok perdagangan terbesar di dunia, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-37 yang digelar secara virtual dengan tuan rumah Vietnam. Kompas.com
RCEP mencakup sekitar 30 persen ekonomi global dan juga 30 persen populasi dunia, serta bertujuan untuk menurunkan tarif secara progresif di wilayah Asia-Pasifik. Dengan pangsa pasar yang besar ini tak mengherankan jika China menyambut baik kehadiran RCEP.

Terlebih lagi RCEP ini sejalan dengan proyek Belt and Road Initiative yang digagas China.
Liberalisasi Ekonomi Makin Kuat

RCEP yang digalang Cina menggeser zona perdagangan bebas usulan Amerika Serikat (AS) untuk kawasan Asia Pasifik yang dibatalkan oleh Presiden Donald Trump beberapa tahun silam. RCEP yang mewakili 30% Produk Domestik Bruto (PDB) global diyakini bisa menjadi langkah positif yang besar menuju liberalisasi perdagangan dan investasi.

Ada tiga pesan yang disampaikan Jokowi saat menghadiri KTT ASEAN secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor (14/11/2020). Pertama, mengenai pentingnya memperhatikan kerja sama di bidang kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang yaitu membangun ketahanan kesehatan kawasan dan dunia. Kedua, meminta kerja sama negara-negara untuk mengatasi dampak ekonomi dari pandemi Covid-19. Ketiga, terus menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan dan dunia.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan Indonesia memerlukan RCEP untuk menghadapi perdagangan dunia yang tidak pasti. Keuntungan bagi Indonesia salah satunya, meningkatkan sektor perdagangan hingga investasi di Indonesia. “Dalam situasi seperti ini tentu sulit bagi Indonesia untuk memaksimalkan potensi ekonominya dengan mendorong ekspor dan menarik investasi. Kami harapkan RCEP bisa menjadi jawaban menghadapi situasi ini,” kata Agus dalam konferensi pers virtual, Ahad, 15 November 2020.
Dia menuturkan melemahnya kepercayaan WTO beserta sistem perdagangan multilateral yang ditopangnya, telah mendorong banyak negara mengalihkan perhatiannya pada kesepakatan-kesepakatan regional dan terutama bilateral.

Menurut dia, ketegangan hubungan perdagangan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Cina hanya menambah keruh situasi perdagangan dunia. Negara-negara mulai mengalihkan ketergantungannya kepada dua negara ini untuk bersaing di kawasan lain. “Ketergantungan baru pun muncul seiring dengan persaingan antar negara di pasar-pasar baru. Karena pasar dunia mengalami kontraksi,” ujarnya.

Menurut dia, RCEP merupakan simbol komitmen pemimpin negara di kawasan terhadap paradigma win-win yang mengutamakan kepentingan bersama. Komitmen atas perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan tersebut akan menjadi bagian penting bagi komitmen kawasan terhadap sentralitas ASEAN di kawasan Indo-Pasifik.

Sikap Indonesia ini menunjukkan bahwa Indonesia dan negara-negara ASEAN memiliki posisi yang lemah di kawasan. ASEAN selalu terombang-ambing di antara dua kekuatan negara besar yaitu AS dan Cina. Padahal seharusnya ASEAN yang memiliki kekuatan ekonomi besar mampu menjadi kekuatan yang independen, tidak dihegemoni asing.

Jika ASEAN mau bersatu secara riil akan terwujud kekuatan yang menggentarkan dunia, apalagi jika dipimpin oleh ideologi yang kuat. Indonesia bisa mengambil posisi sebagai pemimpin negara-negara ASEAN untuk mewujudkan kekuatan regional ini. Sayang sekali, kesempatan ini diabaikan oleh Indonesia.

Mengakhiri Liberalisasi dengan Penerapan Islam Kaaffah

Menurut Abdul Qadir Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi China dan negara-negara maju yang memiliki superioritas dari negara-negara berkembang.

Akibatnya negara-negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat struktur perekonomian negara-negara berkembang sangat sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Pasca meratifikasi kesepakatan dagang RCEP, Cina akan makin mudah menguasai ekonomi ASEAN. Liberalisasi ekonomi akan makin kuat karena adanya penghapusan hambatan perdagangan antarnegara. Produk Cina akan makin menguasai pasar ASEAN.
Slogan “Cintailah Produk-produk Indonesia” hanya akan menjadi slogan kosong karena realitasnya pasar dibanjiri produk Made in Cina. Tinggallah pengusaha dalam negeri yang gigit jari karena menjadi tamu di negeri sendiri.

Begitu pula kebijakan mendatangkan investasi negara-negara maju justru semakin menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Ketergantungan utang menyebabkan sebagian alokasi APBN terserap hanya untuk membayar utang dan bunganya dalam jangka waktu yang panjang.

Selain itu, kemandirian negara juga tergadaikan karena komitmen utang yang disepakati mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan negara pemberi utang, namun merugikan negara pengutang, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan,. Hal yang juga sangat mendasar adalah utang-utang yang ditarik oleh pemerintah merupakan utang ribawi yang diharamkan secara tegas oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

Demikian juga apa yang ada di belakang investasi asing Timur (China) di bidang kesehatan. Ada bahaya besar dan jangka panjang yang turut dibawa. Ini akan melengkapi dominasi asing atas negeri ini. Akibatnya, hampir tak tersisa lagi bidang kehidupan negeri ini yang tidak didominasi asing. Dengan itu pula, penjajahan gaya baru atas negeri ini akan makin dalam. Tentu semua itu tidak boleh dibiarkan. Sebab, kaum Muslim diharamkan memberikan jalan kepada orang kafir untuk bisa mendominasi dan menguasai kaum Mukmin. Allah SWT berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin.” (TQS. an-Nisa’ [4]: 141)
Tentu tak selayaknya kaum Muslim negeri ini rela menjadi bulan-bulanan neoliberalisme dan neoimperialisme baik dari asing Barat maupun asing Timur. Jalan untuk menyudahi neoliberalisme dan neoimperialisme itu hanyalah dengan kembali pada petunjuk Allah SWT, yaitu dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah naungan sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.

Oleh karena itu, tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh penduduk negeri ini untuk membebaskan negara ini dari liberalisasi perdagangan dan investasi kecuali dnegan kembali menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khilafah Islam. Sistem tersebut nantinya akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri sesuai dengan Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia negeri ini, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam.

Dengan pengelolaan sistem keuangan negara berbasis syariah, maka akan diperoleh pemasukan rutin yang sangat besar dalam APBN negara yang berasal dari pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Abdul Qadim Zallum dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah mengemukakan, bahwa kebutuhan dana negara yang sangat besar juga dapat ditutup dengan penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, gas alam maupun barang-barang tambang lainnya. Tentu hanya bisa terlaksana, jika elit politiknya berkemauan kuat untuk mengelola sumberdaya alam secara mandiri (tidak bermental terjajah). Dan bukan malah menyerahkannya kepada negara lain. ***
Wallahu’alam ….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here