RUU Omnibus Law, Berpihak ke Pengusaha, Abaikan Rakyat Jelata

0
367

Oleh: Riyulianasari

Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law perpajakan telah disampaikan pemerintah ke DPR RI. RUU yang masuk Prolegnas tersebut tinggal menunggu peresmian hingga dapat diterapkan.

Saat menyampaikan insentif yang akan diterima pengusaha dalam RUU tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengajak pengusaha untuk membujuk DPR segera mengesahkan ke dalam UU.

Guyonan Sri Mulyani itu disambut tawaan 1.200 pengusaha yang hadir. Faktanya, omnibus law perpajakan ini memang ditunggu-tunggu para pengusaha. Bagaimana tidak? Omnibus law ini bahkan diprediksi mengurangi penerimaan pajak negara hingga Rp 86 triliun.

Dengan semangat, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun membeberkan insentif pajak dalam RUU tersebut. Kemudian, pihaknya menghapus PPH untuk dividen dari dalam negeri.

Lalu pihaknya juga akan menghapus PPH atas dividen dari luar negeri, asal biaya yang dibebaskan dari pajak dividen itu diinvestasikan di Indonesia.

Kemudian bagaimana nasib UMKM. Dikutip dari laman KOMPAS.com – Jaminan konsumen untuk mendapatkan produk UMKM yang tersertifikasi menjadi salah satu hal yang diusulkan masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Demikian diungkapkan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki di dalam wawancara khusus dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu.

“Itu berbagai usulan dari kami untuk Omnibus Law. Misalnya yang paling pokok untuk UMKM adalah sertifikat dari BPOM dan sertifikat halal. Karena itu yang sekarang memberatkan pelaku UMKM,” ujar Teten.

Saat ini, UMKM sulit menyertakan sertifikasi BPOM maupun halal pada produknya. Pasalnya, sertifikasi itu diperuntukkan ke masing-masing produk.

“Misalnya warung Padang. Sertifikat halalnya mesti satu per satu produk. Katakanlah dia punya 20 menu, satu menu biayanya Rp 10 juta. Satu restoran Padang untuk sertifikasi bisa Rp 80 juta. Ini kan menghambat,” ujar Teten.

Kementeriannya pun mengusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi, namun pada bahan bakunya.

Dengan demikian, sertifikasi tidak dibebankan kepada pelaku UMKM, namun kepada produsen bahan baku.

“Misalnya pisang goreng harus disertifikasi halal. Bahan pisang goreng kan jelas, ada pisang, minyak goreng, terigu, susu, gula. Nah, bisa mungkin yang disertifikasi nanti bukan pisang gorengnya, tapi bahan bakunya,” ujar Teten.

“Dengan begitu, kalau mereka memproduksi dari bahan-bahan yang sudah tersertifikasi pada hulunya, ya mereka (pelaku UMKM) tidak perlu sertifikasi lagi. Ini bisa menjadi solusi,” lanjut dia.

Namun demikian, lembaga terkait harus rajin melakukan cek produk. Apabila ditemukan ada produk yang bahan bakunya tidak tersertifikasi, maka akan ditindak tegas.

“Misalnya tiba-tiba ditemukan ada bahan baku yang tidak halal, atau tidak sesuai dengan deklarasi produk mereka, itu harus dihukum dengan berat. Tutup bisnisnya, enggak boleh beredar. Saya kira akan takut yang nakal-nakal,” ujar Teten.

Selain itu, kementeriannya juga mengusulkan agar pelaku UMKM yang ingin mengembangkan produknya ke luar negeri mendapatkan sertifikasi internasional dengan mudah dan cepat.

“Ini harus difasilitasi. Thailand itu sudah memfasilitasi bagaimana produk UMKM bisa go international. Itu di Omnibus Law kami usulkan juga supaya persyaratan SNI dimudahkan,” ujar Teten.

Draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja menghapus kewajiban sertifikat halal. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lantas memaparkan kajian terkait UU Jaminan Produk Halal.

Ketua PBNU Robikin Emhas menjelaskan, pihaknya melakukan kajian terhadap UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dalam Rapat Pleno PBNU 20-22 September 2019 di Purwakarta. Berdasarkan hasil kajian, ada sejumlah aspek yang dinilai bermasalah, antara lain:

1. Secara filosofis, UU ini bertentangan kaedah dasar hukum yakni al ashlu fil asyiya al ibahah illa an yadulla dalil ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan). Oleh karenanya, UU ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh, karena bertentangan dengan kaedah hukum.
2. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia mayoritas muslim, berbeda dengan negara-negara lain di mana masyarakat muslim merupakan penduduk minoritas, sehingga yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi adalah kelompok minoritas dari segi konsumsi makanan haram. Oleh karena itu, produk dari regulasi adalah jaminan halal (sertifikat halal).

Rancangan Undang-Undang omnibus law adalah upaya untuk merevisi Undang-Undang yang sudah ada agar lebih menguntungkan para pengusaha. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari apa yang disampaikan oleh Menteri Keuangan dihadapan 1.200 pengusaha yang hadir dalam Business Gathering di Hotel Kempinski Jakarta pada hari Jumat (7/2/2020).

Artinya, pengusahalah yang semakin diuntungkan dari revisi undang-Undang ini dan rakyat akan semakin sengsara menanggung beban hidup yang berat.

Inilah yang disebut dengan kebijakan ekonomi kapitalistik, penyebabnya adalah ideologi kapitalisme yang diterapkan di Indonesia, sehingga Undang Undang yang dibuat pun harus berdasarkan kepentingan para kapitalis (pengusaha). Undang-undang yang dilahirkan dari ideologi kapitalis bukanlah untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang digaungkan selama ini atas nama Demokrasi. Tapi pada penerapannya, yang semakin sejahtera adalah para pengusaha dan penguasa di negeri ini beserta keluarga dan kerabatnya.

Sekulerisme yang menjadi aqidah dari ideologi kapitalisme pun menjadi acuan dari ideologi kapitalis dan semakin nampak dari draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapus kewajiban sertifikat halal, sehingga undang undang ini akan semakin liberal.

Pemikiran pemikiran yang selalu digembar gembokan oleh ideologi kapitalis adalah Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Pada kenyataannya adalah demokrasi dari pengusaha, oleh pengusaha, untuk pengusaha.

Ideologi apa yang diterapkan oleh sebuah negara sangatlah berpengaruh terhadap kebijakan undang undang yang akan diberlakukan untuk mengatur rakyat.
Islam adalah sebuah ideologi yang akan mengurusi urusan masyarakat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT, bukan berdasarkan kepentingan pengusaha. Seorang kepala negara akan mengurusi setiap urusan di dalam negeri dan di luar negeri sesuai dengan syariah islam. Syariah islam lah yang akan menjadi undang undang untuk mengatur individu, masyarakat dan negara. Maka tidak ada yang dirugikan ataupun diuntungkan dari penerapan peraturan undang undang tersebut.

Seorang kepala negara sudah mempunyai pedoman yaitu Al-Quran dan Al-Hadits untuk membuat aturan bagi individu, masyarakat dan negara. Tidak boleh negara bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat atau sebaliknya. Semua berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT (syariah). Syariah islam hanya dapat diterapkan jika ideologinya juga adalah islam. Maka jika kita menginginkan aturan yang adil yang tidak menguntungkan hanya segelintir orang, kita harus meninggalkan ideologi kapitalis Demokrasi sekuler dan menggantinya dengan ideologi Islam. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here