Sekolah Tatap Muka Januari, Sudah Usaikah Pandemi?

0
637

Oleh : Ismawati

Sejak bulan Maret 2020, Indonesia mulai terkonfirmasi kasus positif Covid-19. Hingga saat ini jumlah kasus positif semakin meningkat hingga menembus angka 506.000 kasus atau bertambah 5.000 lebih kasus setiap harinya. Sejak awal, muncul kebijakan agar aktivitas masyarakat seperti bekerja, beribadah dan belajar dilakukan dirumah. Aktivitas belajar mengajar dirumah selama lebih dari 8 bulan ini menimbulkan kebosanan bagi para pelajar dan berharap sekolah dapat dibuka kembali seperti biasanya.

Seolah mendapat angin segar lantaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko Virus Corona mulai Januari 2021. Nadiem mengatakan, keputusan pembukaaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah, Cnnindonesia.com (20/11).

Membuka sekolah di kala pandemi tentu menimbulkan rasa dilematis. Satu sisi muncul kekhawatiran akan dampak buruk PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dalam jangka panjang seperti munculnya rasa bosan dan junuh bagi anak. Di sisi lain, kekhawatiran orang tua kepada anaknya jika terpapar virus. Mengingat, virus tak kasat mata ini mudah menginfeksi siapa saja. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai masih banyak sekolah yang belum siap secara protokol kesehatan dalam penerapan kembali pembelajaran tatap muka.

Hanya saja, kebijakan ini di dukung oleh Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda yang mendukung rencana membuka sekolah dengan beberapa syarat. Beliau menilai, pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan, terutama di daerah-daerah. Karena pola pembelajaran PJJ tidak berjalan efektif akibat minimnya sarana dan prasarana pendukung, seperti tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata, liputan6.com (20/11).

Sementara itu, melihat lonjakan kasus Covid-19 setiap hari yang semakin tinggi akan membuat khawatir orang tua. Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, menilai kebijakan pemerintah yang membuka sekolah pada Januari tahun depan tidak realistis. Dasarnya karena positivity rate atau tingkat penularan virus masih tinggi yakni di atas 10 %. Sedangkan WHO menyarankan, pelonggatan kegiatan di suatu negara bisa dilakukan jika positivity ratenya di bawah 5 %, bbcnewsindonesia, (23/11).

Oleh karena itu, wacana membuka sekolah adalah hal yang sebaiknya tidak dilakukan, karena kemungkinan pada Januari 2021 kurva positif akan melandai. Terlebih, masyarakat saja banyak yang abai terhadap protokol kesehatan, seperti tidak memakai masker saat keluar rumah. Bahkan, anak-anak juga tidak seluruhnya menerapkan protokol kesehatan saat beraktivitas di luar rumah.

Maka, perlu keseriusan pemerintah dalam menangani Virus Corona. Selama ini kebijakan yang dibuat sering kali berubah-ubah. Mulai karantina mandiri (stay at home), kebijakan PSBB wilayah, hingga tidak membolehkan adanya kerumunan. Beberapa pelanggarnya pun tidak dikenakan sanksi tegas. Belum lagi, masyarakat awam yang memandang virus ini tidak ada. Alhasil, protokol kesehatan tidak diperhatikan, dan mulai lengah saat beraktivitas di luar rumah. Lalu, bagaimana dengan anak-anak? Yang notabene tidak selamanya mereka mau mengenakan masker, atau menjaga jarak dengan temannya saat bermain.

Dengan demikian, negara seharusnya memikirkan solusi terbaik yang berguna bagi semua pihak. Jika terus seperti ini, pandemi akan semakin meluas, yang terinfeksi akan semakin banyak. Maka, hal yang pertama dan paling utama adalah menyelesaikan wabah itu sendiri. Negara Islam telah mencontohkan bagaimana penyelesaian wabah penyakit menular. Yakni dengan memisahkan yang sakit dan yang sehat, mengisolasi diri untuk yang sakit dan tidak keluar dari wilayahnya bagi yang sehat.
Rasulullah SAW bersabda : “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari)

Negara Islam tidak serta-merta membiarkan masyarakat berdiam diri dan melakukan aktivitas di rumah saja. Kewajiban terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat akan di lakukan oleh negara Islam. Terkhusus bagi pelajar, negara akan menyediakan berbagai sarana dan prasarana dalam mendukung terselenggaranya pembelajaran daring. Maka, keputusan belajar daring di masa pandemi adalah keputusan yang tepat untuk menyelesaikan wabah sebelum membuka sekolah. Sejatinya negara harus dikembalikan fungsinya sebagai pengurus rakyat, sehingga kebijakan yang diambil betul-betul untuk kepentingan rakyat. ***

Wallahu a’lam bishowab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here