Oleh: Ummu Tiara
Bagaikan buah simalakama, demikianlah kondisi yang dialami generasi di masa Pandemi Corona saat ini. Bagaimana tidak, selama pandemi ini hampir 8 bulan lamanya sekolah masih melakukan kegiatan belajar dari rumah (BDR). Namun, belajar dari rumah bukanlah model pembelajaran terbaik. Siswa menjadi borring, pusing dengan seabreg tugas yang diberikan guru, apalagi bagi siswa dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarana yang ada, bahkan muncul beberapa kasus seperti depresi hingga kehilangan nyawa yang dialami oleh siswa. Belum lagi tugas orang tua yang semakin bertambah, karena harus mendampingi anaknya belajar di rumah, sehingga banyak orang tua yang stres. Sementara masuk sekolah untuk melaksanakan pembelajaran secara langsung lebih besar lagi resikonya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko Virus Corona mulai Januari 2021. Beliau pun sempat menyinggung bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) punya banyak dampak buruk terhadap siswa yang bisa melekat secara permanen. Yang paling ia khawatirkan adalah potensi ancaman putus sekolah dan tekanan psikologis.
Rencana sekolah tatap muka ini pun didukung oleh Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, dengan syarat melakukan protokol kesehatan secara ketat. Alasan sekolah tatap muka tersebut menurutnya merupakan suatu kebutuhan, terutama di daerah daerah. Karena pola PJJ tidak bisa efektif dan minimnya sarana dan prasarana pendukung. Seperti tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata.
Kondisi ini pun sesuai dengan laporan terbaru Word Bank (WB) terkait dunia pendidikan Indonesia, serta menemukan efek domino dimana siwa akan kehilangan kompetensi sesuai dengan usia mereka. Lebih parahnya lagi ada siswa yang terpaksa harus putus sekolah karena tidak adanya biaya, atau siswa harus membantu orang tuanya bekerja (Liputan6.com).
Nadiem pun mengatakan, keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada semester genap tahun ajaran 2020/2021 atau mulai Januari tahun depan (cnnindonesia.com 20/11/20).
Rencana pembelajaran tatap muka yang tengah diopinikan saat ini, sesungguhnya sangat riskan bagi kesehatan dan keselamatan para siswa dan guru, juga berbahaya terhadap keluarga yang memungkinkan terbentuknya klaster baru penyebaran Covid-19, karena penularannya saat ini tak terkendali.
Menjelang 9 bulan kasus Corona di RI, Data yang dirilis Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan jumlah kasus Positif Covid-19 di Indonesia hingga kini total kasus positif Covid-19 mencapai 500 ribu atau setengah juta. Hingga hari Selasa (24/11/20) terjadi penambahan kasus baru positif Corona sebanyak 4.442, sehingga total kasus positif Covid-19 di Tanah Air kini tembus 502.110 (detiknews).
Hal ini sungguh dilematis bagi para orang tua. Di satu sisi ingin anaknya tidak ketinggalan pelajaran atau ingin hasil belajar anaknya optimal sesuai target. Di sisi lain, ada risiko terpapar virus Covid-19 yang sampai detik ini di Indonesia tidak jelas kapan puncak kurva pandemi terjadi dan angka penyebaran virusnya bisa menurun. Hal ini sejatinya muncul karena negara tak memiliki panduan lengkap lagi sahih tentang penyelenggaraan pendidikan. Sebab, selama ini pendidikan diselenggarakan dalam sistem pendidikan sekuler kapitalistik yang menyimpang dari Islam.
Padahal sebenarnya Islam telah memiliki solusi yang tepat, Solusi yang berasal dari zat yang maha mengetahui, maha menguasai segala sesuatu dan maha pengatur, termasuk masalah wabah. Seperti yang telah dicontohkan oleh sahabat Rasulullah SAW pada masa kepemimpinan khalifah Ummar. Beliau menerapkan apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rosulullah SAW bersabda “Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meniggalkan tempat itu” ( HR. Bukhari dan Muslim).
Islam mengharuskan negara membuat kebijakan isolasi/karantina penyakit dengan melakukan tes massif mutlak, agar bisa dipisahkan antara orang yang sakit dari yang sehat sebagaimana ditegaskan dalam nash hadits di atas, sehingga proses belajar di sekolah bagi wilayah yang tidak terkena wabah tetap berjalan sebagaimana biasa, sementara bagi wilayah yang terpapar wabah maka akan dilakukan proses belajar dari rumah (BDR) yang berbasis Islam. Yakni dalam proses belajar pemerintah akan menfasilitasi para guru dan siswa, misalnya penyediaan alat penunjang proses belajar agar proses BDR tersebut terlaksana dengan baik. Mulai dari penyiapan materi, pemebelajaran yang tepat di saat pandemi, mengadakan segala fasilitas yang dibutuhkan secara optimal dan memberikan penghargaan yang maksimal bagi para guru atas kerja kerasnya. Sebab dalam sistem Islam, penguasa tidak boleh abai, semua kebutuhan dasar masyarakat harus dijamin oleh negara, termasuk dalam aspek pendidikan.
Wabah yang Allah turunkan ini, sejatinya mendatangkan kebaikan bagi manusia, karena mengingatkan betapa lemahnya manusia di hadapan Allah. Sehingga kesadaran ini akan membimbing kita untuk tidak mengambil aturan buatan manusia dan bersegera menerapkan aturan dari sang Pencipta Allah Subhanahu wa ta’ala, yang akan menuntaskan segala pandemi yang menimpa dunia ini. ***
Wallahu’alam bi shawab.