Ahli Hukum: MK Tak Layak Disebut Penjaga Konstitusi, Mereka Politisi

0
361

Kliksumatera.com, JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan uji formal Undang-Undang Cipta Kerja membingungkan. MK menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional karena proses legislasinya melanggar Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Tapi, pada saat yang sama, produk cacat prosedur itu dinyatakan tetap berlaku.

Pendapat di atas disampaikan oleh Ahli Hukum Dr. Muhammad Taufiq SH MH atas terbitnya putusan MK tentang permohonan uji formal Undang-Undang Cipta Kerja.

MK menyebutnya inkonstitusional bersyarat. Artinya, UU Cipta Kerja hanya akan inkonstitusional apabila pemerintah dan parlemen tidak memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan dibacakan, yaitu sampai 25 November 2023.

“Semestinya, jika proses pembuatannya catat hukum, UU Cipta Kerja pun dinyatakan cacat dan dibatalkan. Itu yang benar dan itulah fungsi penjaga Konstitusi,” kata Taufiq.

Multitafsir

Menurutnya, Vonis MK juga multitafsir. Pemerintah diminta menangguhkan segala tindakan ataupun kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak boleh menerbitkan peraturan pelaksana baru turunan UU Cipta Kerja.

Kebijakan seperti apa yang masuk kategori strategis itu? Apakah membiarkan pengusaha tidak mengupah pekerjanya sesuai dengan ketentuan? Atau membebaskan royalti batu bara bagi penambang yang melakukan penghiliran termasuk kebijakan strategis?

Di sisi lain, putusan ini berarti peraturan pelaksana yang sudah ada akan tetap berlaku, mesti banyak dikritik.

Padahal banyak kelompok yang menolak UU Cipta Kerja, terutama karena isinya banyak melanggar hak warga negara. Di antaranya, hak pekerja untuk menjadi karyawan tetap.

“Dalam UU Cipta Kerja, hak-hak dasar yang semula diatur dalam UU Ketenagakerjaan itu dihapus, yang mengakibatkan pekerja dapat dipecat secara sepihak. Lalu, dengan dalih untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja lebih banyak, pemerintah dan DPR malah meniadakan sanksi bagi pengusaha yang menolak membayar upah pekerjanya sesuai dengan ketentuan,” jelas Taufiq dalam keterangan tertulisnya.

Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi mengajukan uji formal UU Cipta Kerja pada 24 November 2020 setelah berbagai demonstrasi dan aksi protes gagal.

Mereka terdiri atas Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, bekas buruh kontrak yang dipecat saat terjadi pandemi Covid-19; Ali Sujito, seorang mahasiswa; dosen bernama Muhtar Said; Migrant Care; Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat; dan Mahkamah Adat Alam Minangkabau.

Jauh dari Harapan

Taufiq menilai, putusan MK ini jauh dari harapan. Lima hakim, yakni Aswanto, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan Saldi Isra, bersepakat proses pembentukan UU Cipta Kerja melanggar UU PPP. Indonesia, yang menganut paham civil law, tidak mengenal metode omnibus.

Sementara empat hakim berbeda pendapat alias mengajukan dissenting. Mereka adalah Manahan Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, dan Anwar Usman. Arief dan Anwar berpendapat penggunaan cara omnibus sah kendati belum diatur dalam UU PPP.

“Melihat pendapat hakim yang terbelah hampir merata, patut diduga putusan aneh ini tidak lebih dari sebuah langkah kompromi. Pelanggaran pada proses pembuatan undang-undang terpaksa diakui karena amat kasatmata. Tapi kepentingan pemerintah dan DPR yang termuat dalam pasal-pasal undang-undang sapu jagat tersebut tidak diusik,” ungkap dosen FH UNISSULA Semarang ini.

Jelas, putusan MK ini bukan sebuah kemenangan bagi pemohon yang mewakili jutaan orang yang hak-haknya digasak UU Cipta Kerja. Karena itu, upaya perlawanan mesti berlanjut.

Terus Kawal

Saat ini proses uji materi sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja masih berlangsung di MK. Publik perlu mengawalnya karena tafsir MK terhadap uji pasal-pasal tersebut akan mempengaruhi pembahasan perbaikan UU Cipta Kerja selama dua tahun mendatang.

“Adapun MK kita tuntut untuk memastikan pemerintah tidak seenaknya menafsirkan putusan mereka. Menurut saya bukan hanya sekali ini dalam revisi KPK pun mereka mendua,” ungkapnya.

Selain itu, keputusan MK menganut prinsip “erga omnes”, artinya putusan MK tidak hanya mengikat para pihak (interparties) terkait, melainkan juga harus dipatuhi dan ditaati oleh siapapun (erga omnes), bahkan termasuk MK sendiri.

Taufiq menengarai, ada kongkalikong saat itu para hakim MK yang setuju KPK masuk ke dalam obyek hak angket DPR dengan kekuatan-kekuatan politik di parlemen. Dan sekarang mereka ulang dalam Omnibus Law kongkalikong itu.

“Karena semuanya seperti diabaikan dengan putusan MK yang sekarang ini. Bahkan, putusan MK ini terkesan hanya mempersoalkan judul saja, tanpa dia melihat konsekuensi penerapan keputusannya itu terhadap lembaga lain yang serupa seperti pemerintah dan kalangan pengusaha,” tegas Taufiq.

Sumber : ZONASATUNEWS.COM
Posting : Imam Ghazali

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here