Oleh: Marsal (Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim)
Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), 1 Juni 1945, menyampaikan pidato penting yang sangat berpengaruh untuk konstruksi awal bangsa ini. Bung Karno mengatakan bahwa jika orang-orang Islam ingin agar hukum-hukum di Indonesia berdasarkan Islam, maka hendaknya orang-orang Islam berjuang untuk merebut sebanyak-banyaknya kursi di parlemen, sehingga bisa mempengaruhi pembuatan hukum. Pernyataan presiden pertama Indonesia ini sebenarnya mengarah kepada bagaimana mewujudkan pemerintahan yang bersih, tanpa KKN.
Sebab, Bung Karno percaya bahwa seorang agamawan akan mampu menjaga diri, jika dihadapkan dengan praktik kekuasaan yang senantiasa yang sangat banyak sekali godaan, Selain itu, keterlibatan ulama’ diyakini juga akan membawa Indonesia menjadi lebih maju, karena ilmu yang mereka miliki. Sepertinya, maksud pidato tersebut bisa dikontekskan dengan kehidupan politik Indonesia yang sekarang dalam masa “bahaya”.
Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin negeri ini, membuat sebagian besar rakyat kecewa dan muak dengan perilaku mereka. Persoalan korupsi yang saat ini menjadi isu sentral permasalahan politik Indonesia, ditambah dengan lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah, menjadi derita lengkap rakyat bangsa ini. Masyarakat kini telah kehilangan krisis kepercayaan terhadap para pemimpinnya. Jika sudah begitu, kegoncangan demi kegoncangan lah yang terjadi. Tentu saja dalam rangka membentuk negara yang maju dan berperadaban akan semakin sulit. Bahkan, kekecewaan publik semakin lengkap ketika pemimpin mereka, yang berasal dari partai yang mengatasnamakan agama, juga ikut terlibat dalam tindak penyimpangan. Kini, rakyat sangat merindukan pemimpin yang memang benar-benar bisa memimpin, pemimpin yang bisa mengayomi dan melindungi kepentingan rakkat. Ada banyak faktor yang menyebabkan krisis kebaikan dalam perpolitikan Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di level daerah.
Istilah Umara’ berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jama’ dari “Amiirun” yang berarti Pemimpin atau penguasa, maka Umara’ berarti para pemimpin atau penguasa di suatu negeri, di wilayah atau di daerah. Para Amiir atau penguasa , mereka adalah orang orang yang berkuasa di suatu negeri atau di daerah, di pundak merekalah tanggung jawab mengenai kehidupan umat. Sejahtera tidaknya suatu masyarakat, aman tidaknya suatu masyarakat tegantung pada keadilan dan kebijaksanaan para pemimpinnnya, jadi jika mereka itu adil dan bijaksana, jujur dan amanah, kelak masyarakat yang dipimpinnya itu akan mencapai kesejahteraan, ketenteraman dan kemakmuran, tetapi sebaliknya jika seorang pemimpin tidak jujur, tidak adil, semena mena, kejam dan dzalim, maka kelak rakyat akan mengalami kesengsaraan, penderitaan, ketakutan dan akhirnya kehancuran. Seorang pemimpin atau penguasa bias berlaku adil dan bijaksana, jujur dan amanah, jika ia memiliki jiwa iman dan taqwa serta menguasai petunjuk petunjuk Allah secara Konfrehensif (menyeluruh).
Sedangkan seseorang dapat mengetahui petunjuk Allah tersebut hanyalah melalui para pewaris Nabi, yaitu para Ulama’. Walaupun petunjuk petunjuk Allah itu bisa di dapat melalui buku atau kitab, namun buku-buku itu juga dijaga dan disebarkan oleh para penerus perjuangan Nabi.
Sementara pengertian Ulama’ adalah orang orang yang sangat ahli atau sangat pandai di bidang Ilmu pengetahuan, kelompok ini juga sering disebut para Cendikiawan. Sebutan Ulama’ di masa perkembangan dan kejayaan Islam tidak hanya terbatas pada para ahli agama, tetapi juga diberikan kepada para ahli ilmu pengetahuan umum.
Namun perlu diketahui bahwa umumnya Ulama’ pada masa itu, sekalipun ahli di bidang ilmu pengetahuan Agama, misalnya saja Al Farabi, seorang Filosof dan juga seorang ahli ilmu Agama. Ibnu Sina seorang ahli ilmu kedokteran yang juga seorang Fuqaha (ahli Fiqih/Ilmu Syariah), ada juga seorang Filosof Islam yang juga seorang Fuqaha Yakni Ibnu Rusydi, Al Khawarizmi seorang ahli ilmu ukur (aljabar / Matematika) yang juga ahli ilmu Agama, Ibnu Khaldun seorang Sosiolog tersohor di Zamannya, juga seorang Agamawan.
Di masa kini sebutan Ulama’ itu sudah semakin dipersempit atau disederhanakan, yang dahulunya mempunyai makna yang sangat luas, saat ini karena pengaruh budaya barat yang sudah merambah dalam segala aspek kehidupan masyarakat modern, gelar itu hanya diberikan kepada para ahli ilmu agama. Namun terlepas dari itu semua, para ulama sejak dahulu sampai sekarang tetap konsekuen pada misi utamanya. Yakni meneruskan perjuangan Nabi Besar Muhammad SAW dalam mengajarkan Islam beserta Ilmu pengetahuannya, menganjurkan umat manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan munkar.
Mereka dijuluki pewaris Nabi, oleh karena itu kedudukan mereka amat mulia di sisi Allah SWT dan di tengah-tengah masyarakat. Maka di pundak ulama’lah tanggung jawab mengenai akhlak umat manusia. Jika para ulama makin besar perannya di masyarakat maka akan semakin baiklah akhlak masyarakat. Jika makin kecil peran mereka, maka keburukan akan makin menonjol di masyarakat. Dalam hal Ulama’ sebagai pewaris Nabi Rasulullah bersabda : “Ulama’ itu adalah lampu lampu bumi, wakil-wakilnya para Nabi, pewarisku (Muhammad Saw) dan pewaris para Nabi”. (HR Ibnu Adi dan Ali ra).
Oleh karena itu di saat inilah pentingnya kerja sama antara Umara’ dan Ulama’. Para penguasa sebagai kelompok orang yang berjanggung jawab atas jalannya roda kehidupan rakyat, sedangkan para ulama’ adalah kelompok orang yang bertanggung jawab memberi penjelasan tentang manakah jalan kehidupan yang benar menurut Al Qur an. Dengan kerja sama itu Inshaa Allah akan tercapai kemaslahatan Umat. Dalam hal kerja sama Rasulullah SAW bersabda: Dua golongan dari manusia, apabila mereka baik maka baiklah semua manusia, dan apabila mereka rusak maka rusaklah manusia. Yaitu Ulama’ dan Umara’ (para penguasa)”. (HR Abu Na’im).
Jika ada seorang bertanya, apakah kerja sama antara Umara’ dan Ulama’ dalam membangun masyarakat dapat mencapai kemaslahatan atau kesejahteraan Umat?, sebab dengan kerja sama antara Umara’ dan Ulama’ itu maka: para Umara’ (penguasa) akan memperoleh penjelasan penjelasan dari Ulama’ tentang petunjuk petunjuk Al Quran dan Sunnah Nabi mengenai pembangunan masyarakat. Maka akan memperoleh bimbingan dari Al Qur an dan Sunnah. Mengenai hal hal tersebut, seorang pemimpin akan menyesuaikan diri dari petunjuk Allah tersebut dalam menetapkan tindakan dan kebijakannya, sehingga tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan membela kepentingan rakyat banyak. Namun Ulama’ yang dimaksud di sini adalah Ulama’ yang benar-benar takut kepada Allah. Sehingga mereka tidak mudah diperalat. Fatwa-fatwanya bukan karena harapan duniawi, melainkan semata-mata karena Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah mencintai Umara’ (penguasa) apabila mereka bergaul dengan Ulama”, dan Allah murka kepada Ulama’ apabila mereka mencampuri Umara’. Karena apabila Umara’ mencampuri Ulama’ (berarti) mereka gemar kepada akhirat’. (HR Ad Dailami).
Sebab dengan kerja sama antara Umara’ dan Ulama’ maka Ulama’ akan memperoleh kesemptan dan perlindungan yang luas dan bebas untuk memberikan dakwa Islamiyah kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat memahami Islam secara luas, dapat mengamalkannya dan mereka akan semakin sadar terhadap hukum. Sehingga Umara’ akan mendapatkan kemudahan dengan mengatur kehidupan masyarakatnya. Inshaa Allah segala bentuk penyimpangan dan kemungkaran di masyarakat dapat dihindari.
Dengan kerja sama antara Umara’ dan Ulama’ segala macam kebijakan dapat ditumbuhsuburkan, dan segala keburukan dapat diberantas. Sebab Ulama’ ibarat mengurus sebuah pohon, merekalah yang menyirami dan memupuk pohon tersebut. Sedangkan Umara’ sebagai penjaga pohon itu dari segala gangguan hama. Dengan demikian pohon akan tumbuh subur dan sehat sehinggga memberikan buah yang banyak serta berkualitas dalam pembangunan masyarakat, para Ulama’ memberikan konsep tentang pembangunan Islami (Qurani). Para penguasa yang menjabarkan, menerapkan dan menjaganya dari segala gangguan penyakit. Dengan demikian masyarakat akan tumbuh subur dan sehat serta menghasilkan buah yang lebih baik berupa ke adilan, kemakmuran, kesejahteraann, dan keluhuran budi.
Dengan kerja sama antara Umara’ dan Ulama’, wibawa Umara’akan semakin tinggi dihadapan rakyatnya. Mereka dicintai rakyatnya dan mereka luhur kedudukannya di sisi Allah SWT. Sebab Ulama’ adalah orang orang yang mulia, karena mereka mengemban tugas mulia pula, yaitu sebagai pewaris para Nabi, menegakkan Agama Allah Swt, maka apabila Umara’ selalu dekat dengan Ulama’ dan menerima petunjuknya, kedudukan Umara’ menjadi mulia karena hakikatnya mereka meneruskan missi para Nabi, yakni menegakkan Agama Allah SWT. Umara’ yang menegakkan Agama Allah, berarti senang berbuat kebajikan dan benci terhadap kemungkaran.
Untuk itu perkokohlah kerja sama antara Umara’ dan Ulama’ akan terjaga kesinambungan kerja sama antara keduanya yang selam ini telah berjalan dengan baik Semoga Allah SWT memberkahinya. ***