Siasat di Balik Isu BPJS Kesehatan Bangkrut

0
392

Oleh : Lindawati

PELAYANAN kesehatan di bawah BPJS diakui banyak diapresiasi masyarakat. Tapi tidak sedikit juga yang mencibirnya. Bukan hanya pasien, namun juga tenaga medis dan penyedia fasilitas kesehatan seperti klinik dan rumah sakit.

Kehadiran BPJS yang mengadopsi sistem asuransi, membuat pelayanan kesehatan berubah dari tanggung jawab pemerintah menjadi tanggung jawab rakyat. Badan itu hanya memungut iuran dari rakyat. Lalu membayar klaim tenaga medis, fasilitas kesehatan dan apotik yang melayani peserta BPJS. Dengan prinsip “gotong royong”, rakyat bukan lagi pemerintah menanggung biaya kesehatan rakyat yang sakit. Peran negara dimarjinalkan. Pemerintah hanya membantu mereka yang dianggap miskin. Tapi tulang punggung pembiayaan ada pada iuran rakyat.

UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Negara(SJSN) Dan UU No. 24 tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), ada beberapa persoalan substansial pada UU SJSN dan UU BPJS ini antara lain:
1. Di dalam UU SJSN pasal 17 ayat 1 di sebutkan keharusan setiap orang yang menjadi peserta JKN membayar iuran yang besarnya ditentukan berdasarkan persentase upah atau nominal tertentu. Dengan UU ini setiap warga dipaksa membayar iuran kepada BPJS untuk mendapatkan layanan kesehatan. Jenis layanan yang didapatkan disesuaikan dengan besaran iuran yang dibayarkan.

Bagaimana mungkin layanan kesehatan dibaratkan seperti ikatan transaksional jual beli?
Sementara secara faktual ada kelompok masyarakat kategori miskin yang tidak memiliki keberdayaan untuk membayar iuran.

2. Dengan mengadopsi sistem asuransi sosial dengan mengharuskan pesertanya membayar iuran/premi, ini menunjukan konsep jaminan kesehatan meniscayakan semua tanggungan atau biaya pemeliharan kesehatan rakyat ditanggung oleh negara.

3. Dengan mengadopsi sistem asuransi sosial, sistem JKN ini sangat berorientasi keuntungan (profit). Akibatnya urusan kesehatan rakyat dijadikan lahan bisnis dan korupsi oleh lembaga semacam BPJS. Mengumpulkan dana dari rakyat dan kemudian nanti mereka bisa investasikan guna meraup keuntungan. Dan pada faktanya liberalisasi itu melibatkan asing yakni Asia Development Bank (ADB).

Dari mulai berdiri pada 1 Januari 2014, terus dirundung ketidaksesuaian antara penerimaan iuran dengan pembayaran klaim (alias tekor).

Dari data yang diperoleh pada 2015 BPJS kesehatan mengalami defisit sekitar 5,58 triliun kemudian 2016 sekitar 7 triliun membesar menjadi Rp 9,75 triliun dan diperhitungkan pada tahun 2018 tidak kurang dari 11 triliun.

Akibat defisit ini banyak tunggakan BPJS kesehatan kepada pihak rumah sakit baik negeri maupun swasta dan juga ke perusahaan farmasi.

Dikutip dari Tempo.com Jakarta. Menteri kesehatan Terawang Agus Putranto menduga salah satu penyebab defisit BPJS kesehatan adalah pembengkakan biaya klaim kepada rumah sakit. Pembengkakan biaya klaim ini diduga disebabkan oleh karena tindakan dokter kepada pasien yang dilakukan secara berlebihan.

Salah satu yang di soroti Terawang adalah layanan persalinan melalui operasi sectio Caesarea yang di duga tidak sesuai ketentuan. “Wong sectio Caesarea aja perbandingannya dengan normal itu 45%. Harusnya menurut WHO 20%.kata Menkes Terawan di Jakarta, Jumat malam 29 November 2019.”

Dan beliau menjelaskan layanan yang diberikan JKN adalah layanan kesehatan dasar dengan dana terbatas. Namun nyatanya di lapangan kerap dilakukan dengan tindakan yang berlebihan sehingga membuat pembiayaan juga jadi berlebihan “ini namanya limited budgeting kok di perlakukan unlimited medical service… Pasti akan menjadi kolaps.

Ironisnya ketika BPJS kesehatan defisit dan banyak memiliki tunggakan kepada rumah sakit dan perusahaan farmasi. BPJS ketenagakerjaan per januari 2018 malah menginvestasikan dananya sebesar 73 triliun pada proyek infrastruktur. Investasi tersebut merupakan investasi tidak langsung yaitu dalam bentuk surat utang (obligasi) yang di terbitkan BUMN. Karena itulah isu defisit BPJS ditanggapi hoax oleh pengamat ekonomi, Salamudin Daeng.
Mengapa dikatakan hoax yang besar karna faktanya dana BPJS Taspen dialokasikan untuk infrastruktur.

Menurut salamudin daeng isu defisit nya BPJS bertujuan agar peserta BPJS membayar premi lebih besar, bahkan dana tersebut berpotensi besar di gunakan untuk ambisi megaproyek infrastruktur pemerintah. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.

Sistem jaminan sosial ini baik dalam ketenagakerjaan, kesehatan maupun yang lain sebenarnya lahir dari sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme negara tidak mempunyai peran dan tanggung jawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat, karena urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri, bukan negara. Karena itu kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung rakyat sendiri atau dengan bergotong- royong sesama mereka.
Ketika sistem seperti ini dianggap menyengsarakan rakyat mulailah dicari solusi. Solusinya dengan membuat BPJS dan SJSN.

Di negara-negara barat sistem jaminan sosial ini di ikuti dengan cara dan mekanisme yang juga tidak kalah zalimnya. Sudahlah negara tidak menjamin, malah negara justru memalak rakyat dengan mewajibkan rakyat untuk membayar premi.  Dengan kata lain negara telah memindahkan tanggung jawab ini ke pundak rakyat. Ketika ini sudah ditetapkan sebagai kewajiban di pundak rakyat maka ketika rakyat tidak membayar mereka pun dikenai sanksi dan denda.

Nah di sinilah akar masalahnya, padahal dalam islam kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan serta kebutuhan dasar rakyat yang lain adalah kewajiban negara bukanlah rakyat. Begitulah kezaliman sistem BPJS ini. Bukan saja zalim tetapi juga bathil. Mengapa?..

Karena muamalah seperti ini tidak lahir dan berdasarkan akidah islam, sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Mengapa?… Karena kesalahannya bukan hanya pada daun (buah) nya tetapi sejak dari akarnya. *** Wallahu’alam bhishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here