Terowongan Toleransi Atasi Masalah Intoleransi?

0
311

Oleh: R. Bening Sukma

Sebuah gagasan baru muncul baru-baru ini. Atas nama toleransi Presiden Jokowi mencanangkan membuat terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral. Harapannya terowongan ini akan menjadi ikon toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, terowongan adalah sebuah sarana yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain. Terowongan identik dengan ruang lorong bawah tanah. Jika zaman dulu terowongan dijadikan tempat persembunyian. Saat ini justru dijadikan alat toleransi. Terbayang bagaimana bentuknya?

Adanya terowongan ini menjadi sebuah icon baru bagi toleransi di Indonesia dan akan menjadi situs toleransi, monumen umat beragama di Indonesia.

Tidak semua kalangan pro dengan gagasan ini. Banyak pro dan kontra yang terjadi di kalangan tokoh. Sebut saja dua organisasi besar Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, masyarakat membutuhkan silaturahmi dalam bentuk infrastruktur sosial, bukan dalam bentuk infrastruktur fisik berupa terowongan. Begitu pula Ketua Umum Pengurus Besar NU, Said Aqil Siraj, yang mempertanyakan urgensi pembangunan tersebut. Menurutnya harus ada nilai yang terkandung dalam proyek ini. Entah nilai agama, budaya, atau bahkan unsur politik. Beliau menambahkan toleransi itu bisa dibangun dari kerja sama di bidang ekonomi dan teknologi.

Senada tapi tak sama, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom juga mempertanyakan urgensi membuat terowongan. Simbol-simbol yang dibangun itu tidak mengatasi beragam kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Kebutuhan urgen bagi bangsa ini adalah mengatasi masalah intoleransi, bukan sekadar simbol semata.

Namun, berbeda dengan pernyataan Abu Hurairah, Wakil Kepala Humas Masjid Istiqlal justru mendukung ide ini. Menurutnya terowongan ini sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia. Selain masalah toleransi, terowongan akan membuat kegiatan para jemaat (Gereja Katedral) berjalan efektif. Sebelumnya, jika ingin beribadat para jemaat parkir di depan Masjid Istiqlal. Maka, ketika terowongan ini ada, mereka tak perlu menyeberang lagi, cukup lewat terowongan.

Sementara, Tenaga Ahli Utama Staf Presiden (KSP) Kedeputian Komunikasi Politik, Donny Gahral mengatakan, rencana pembangunan terowongan itu sebenarnya telah disepakati kedua pengurus rumah ibadah. Hal tersebut didasari oleh kebutuhan lalu-lalang kedua umat beragama, baik dari Katedral ke Istiqlal maupun sebaliknya. Namun, menurut Jokowi hal itu dimaknai terowongan toleransi.

Menyikapi alasan tersebut. Bukannya lebih mudah, praktis dan efisien ketika dibuatkan jembatan penyeberangan. Biayanya lebih murah, lebih mudah dan tak saling mengganggu antartempat ibadah.

Begitu pula saat diatasnamakan dengan toleransi. Pertanyaannya toleransi yang seperti apa? Apakah dengan menganggap kedua agama tersebut sama? atau dengan adanya terowongan akan direncanakan ibadah bersama serta saling mengunjungi?

Jikalau dilihat dari sisi kesakralan sebuah tempat ibadah. Tentunya tidak ada kesamaan dan hubungan di antara keduanya. Umat Islam tak perlu datang ke gereja. Pun orang Kristen tak perlu datang ke masjid. Masing-masing cukup tenang dengan menjalankan agamanya masing-masing.

Apakah ini ada indikasi liberalisasi beragama? Yang menganggap bahwa semua agama sama. Sebagaimana yang dipahami dalam faham moderasi Islam. Dimana salah satu kampanye yang dibawa adalah pluralisme agama. Moderasi Islam adalah wujud dari Islam moderat itu sendiri. Yang mengambil jalan tengah antara agama dengan kapitalisme.

Oleh karena itu kita perlu mewaspadai ide ini. Jangan-jangan setelah ini muncul kebijakan lain yang mendukung ide pluralisme. Padahal ide moderasi agama ini sangat berbahaya bagi umat. Umat justru akan susah dalam membedakan yang haq dan batil. Lebih parah lagi jika akhirnya umat mencampuradukkan antara yang haq dan batil itu.

Jika hal ini dibiarkan, umat justru akan jauh dari Islam. Inilah yang menyenangkan musuh-musuh Islam. Mereka akan mudah mengombang-ambingkan kita. Mereka akan menyetir keyakinan kita. Bahkan kita akan sukarela mengikuti mereka.

Di dalam Islam sendiri, konsep toleransi untuk membangun kerukunan beragama dengan cara membiarkan pemeluk agama lain menjalankan aqidahnya tanpa diganggu. Sebagaimana di dalam Q.S. Al Kafirun. Khususnya ayat yang artinya “Bagimu agamamu bagiku agamaku”.

Sebagaimana juga para sahabat pun pernah menolak beribadah di rumah ibadah agama lain karena khawatir dicontoh umatnya. Khalifah Umar bin Khattab ra ketika menaklukkan Palestina pernah ditawarin untuk sholat di dalam Gereja di Palestina, namun Khalifah menolak karena khawatir dijadikan sunnah oleh kaum Muslimin. Namun, Khalifah membiarkan dan menjamin keamanan setiap penduduk Non Muslim di Palestina dalam beribadah sesuai dengan keyakinannya.

Sikap toleran Kaum Muslimin ini dipuji oleh para pakar barat non muslim seperti sejarawan Kristen bernama Thomas Walker Arnold. TW Arnold menyampaika, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…” (The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hal. 134).

Oleh karena itu, umat Islam harus berhati-hati dengan Ide sesat ini. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surat QS. Al-Imran: 19 yang berbunyi,” Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. Maka dengan demikian umat Islam harus yakin dengan kebenaran Islam secara totalitas, sebagai bentuk keimanan kita kepada Allah SWT.

Bahkan Allah SWT telah memberikan tuntutan bahwa siapa saja yang mencari agama selain Islam maka mereka akan menjadi orang yang paling merugi. Sebagaimana firman Allah, “Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”(QS.Ali Imran [3]:85).

Dengan demikian umat Islam harus berhati-hati dengan segala upaya yang mengarah kepada leberalisasi umat salah satunya berkedok terowongan silaturahim. Sebagaimana juga sebelumnya menyebar tafsir moderat yang dipaksakan di kalangan kaum muslimin. Hal ini adalah penyesatan yang nyata atas mana moderasi. Sungguh ini bukan moderasi tetapi adalah “modarisasi” (pembunuhan) Islam yang sesungguhnya.

Islam mengakui pluralitas, karena itu adalah sesuatu yang pasti ada. Namun, dalam hal akidah serta ritual ibadah, prinsip umat Islam harus tegas sebagaimama penjelasan di dalam Q.S Al-Kafirun. Di dalam Islam, telah jelas mana yang haq dan mana yang bathil. Tidak ada kompromi di dalam aqidah dan ibadah. Oleh karena itu, setiap upaya menggelindingkan kebijakan pluralisme wajib kita tahan. Tersebab dikhawatirkan akan ada kebijakan selanjutnya yang lebih berbahaya. Terlebih, hal tersebut dikhawatirkan akan semakin menjauhkan umat Islam dari Islam kaffah. Wallahu a’lam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here